Parman

Guru Fisika SMA Negeri 12 Bandung Jl Sekejati IV No. 36 Kiaracondong Bandung 40286 Email : Suparman_fisika@yahoo.co.id

Wednesday, September 13, 2006

Pendidikan

Pendidikan sekarang sangat mahal

Thursday, December 01, 2005

Tenaga Pendidik Puluhan Guru Berunjuk Rasa di Depan Wapres



SOLO--MIOL: Puncak peringatan hari ulang tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-60 ternoda. Puluhan orang guru berunjuk rasa di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, saat acara itu tengah berlangsung di dalam Stadion Manahan Solo, Minggu (27/11).
Sembari membentangkan sebuah spanduk bertuliskan ''Kami Rindu Kesejahteraan, Keluarga Besar PGRI Tasimalaya'', puluhan guru itu mendesak agar pemerintah segera mengundangkan RUU Guru sesuai dengan janjinya pada 6 Desember mendatang.
Unjuk rasa ini berlangsung sesaat sebelum Wakil Presiden Jusuf Kalla menyematkan penghargaan Karya Satya Lencana kepada tujuh orang guru dari berbagai daerah yang dinilai telah melakukan profesinya dengan jujur, disiplin selama puluhan tahun.
Aksi yang tidak terduga ini kontan membuat para petugas keamanan kerepotan. Mereka sama sekali tidak menduga akan terjadi insiden seperti itu. Sebelum bertambah parah, aksi unjuk rasa ini segera dilokalisasi petugas. Para pengunjuk rasa yang jumlahnya terus bertambah, langsung digiring ke tepi lapangan. Spanduk yang mereka bentangkan pun langsung diambil petugas.
Tapi tindakan petugas itu tidak membuat para guru ini menghentikan aksinya. Mereka terus saja berorasi meski tanpa pengeras suara. Mereka tetap mendesak agar pemerintah serius mengundangkan RUU Guru sesuai yang telah dijanjikan, pada 6 Desember mendatang.
"Kalau ternyata pengundangan RUU itu mundur lagi, PGRI akan mogok nasional," teriak Ketua PGRI Probolinggo Alfan Wahid lantang.
Selain mengancam akan mogok nasional, para guru ini juga menyatakan akan mengawasi langsung sidang-sidang pembahasan RRU tersebut di DPR. Melalui sebuah tim yang mereka sebut tim Balkon.
Aksi ini baru berakhir pada saat Wapres memulai sambutannya. Atas insiden memalukan ini, Wapres sempat memberikan teguran keras kepada para guru. Menurut Wapres, sikap para guru itu terkesan mengejek bangsa.
Akibat aksi ini, beberapa orang guru yang dinilai sebagai penggerak sempat diperiksa petugas keamanan di salah satu ruangan di Stadion

Saturday, November 12, 2005

Foto-foto Penangkapan Dr.Azhari


Polisi memeriksa Rumah Teroris
Polisi menjagaRumah di Jalan Flamboyan Kota Batu Malang Jawa Timur


Rumah di Jalan Flamboyan Kota Batu Malang Jawa Timur, tempat teroris Komplotan Dr. Azhari setelah di Bom

Diskriminasi Nasib Guru

Diambil Media Indonesia(13-11-2005)
SUDAH lama menjadi keluhan bahwa bangsa ini tidak menghargai guru. Profesi yang bertanggung jawab mendidik anak bangsa ini dibiarkan bergaji rendah, kesejahteraannya buruk, dan cukup diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Pemerintah rupanya ingin mengakhiri semua yang buruk itu. Maka, dibuatlah Rancangan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, yang naskahnya sedang dibahas di DPR. Targetnya pada 25 November 2005 RUU itu disahkan menjadi undang-undang.
Mengapa terburu-buru? Jawabnya, karena dalam Pasal 22 RUU itu, 25 November ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional. Jadi, ada momentum seremonial untuk membuatnya agak "keramat".
Dan untuk mengejar 25 November itu, sangat dikhawatirkan, kritik masyarakat atas isi RUU itu tidak digubris sama sekali. Kritik yang terpokok ialah RUU ini dengan sengaja membuat diskriminasi. Guru dan dosen negeri merupakan warga negara kelas satu, sedangkan guru dan dosen swasta adalah warga negara kelas kambing.
Misalnya, pemerintah wajib mengalokasikan gaji guru dan dosen negeri dalam APBN (Pasal 14 ayat 1). Sedangkan besaran gaji guru dan dosen swasta dibiarkan mengambang dengan bahasa yang sangat longgar tanpa kewajiban, yaitu sedapat mungkin mengacu ke gaji pokok dan tunjangan profesi guru dan dosen negeri (Pasal 13 ayat 1). Artinya jika tidak dipenuhi, tidak soal, alias tidak melanggar undang-undang.
RUU ini pada dasarnya memang tidak melindungi dan tidak mengangkat martabat guru dan dosen swasta. Napas RUU ini adalah menyamakan guru dan dosen swasta seperti buruh kontrak umumnya, yaitu berdasarkan perjanjian kerja. Jaminan sosialnya juga sesuai jaminan sosial tenaga kerja umumnya. Jadi, tak ada kelebihan guru dan dosen swasta sekalipun RUU ini membahasakan guru dan dosen sebagai profesi.
Undang-undang dibuat untuk terciptanya keadilan. Karena itu, mestinya tidak ada secuil pun pikiran untuk membuat undang-undang yang diskriminatif. Tapi, itulah yang terjadi dengan RUU Guru dan Dosen, yang lebih melindungi guru sebagai pegawai negeri dan bukan guru sebagai profesi. Karena itu, judul RUU ini mestinya ditambah dengan predikat khusus, menjadi RUU tentang Guru dan Dosen Pegawai Negeri.
Yang juga menyedihkan ialah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) setuju saja dengan RUU ini dan berkeinginan kuat agar 25 November ini disahkan. Dengan gampangnya, PGRI berpendapat soal nasib guru dan dosen swasta itu kelak bisa diatur dalam peraturan pemerintah.
Jawaban yang jelas membuat nasib guru dan dosen swasta dipinggirkan. Kelasnya dibuat lebih rendah, cukup diatur dengan peraturan pemerintah. Maka, jika jadi disahkan, inilah undang-undang yang akan membuat marah guru dan dosen swasta

Tuesday, October 25, 2005



Segi Perisai 6 = lambang Kekuatan (Sumber Kekuatan dan indra ke 6)
2 Sayap ( Upara pendorong dalam mengejar Cita-cita )
Prisai = Pelindung / Pembela
Sayap 2 x 7 = 14 (tanggal berdiri SMA 12) = 7 April 1977
Kalam = Lambang Pendidikan
Mahkota 4 lembar = Bulan berdiri SMA 12 (April)
Bunga Melati = Lambang Kesucian
Serbuk Sari Kuning = Keluhuran Budi
Warna Coklat dan Krem = Seragam SMA 12
Jingga = Dasar warna Bendera Sekolah


1. Dasar lambang Perisai : Sebagai pelindung / pembela
2. Sepasang Sayap : Melambangkan upaya/pendorong dalam mengejar cita-cita
3. Tujuh bulu pada masing2
sayap : Lambang mulainya berdiri SMA Negeri 12 ( 7 April 1977 )
4. Kalam di pangkal sayap : Lambang Pendidikan

Friday, October 21, 2005

Tidak Tercantum Dalam RUU GuruGuru Luar Sekolah Makin Tersisihkan

BANDUNG, (PR-22-10-2005)).-Para guru yang bekerja di lembaga pendidikan nonformal (PNF) atau pendidikan luar sekolah (PLS) menuntut status mereka disamakan dengan tenaga pendidik di sekolah formal. Mereka meminta implementasi pasal-pasal pada RUU Guru, yang kini memasuki proses uji publik, seperti gaji guru dua kali gaji PNS, juga diberlakukan terhadap tenaga pengajar di lingkungan PLS.
Entang, salah seorang tenaga pengajar di salah satu lembaga kursus di daerah Cicadas, menilai, selama ini pemerintah menganaktirikan tenaga pendidik yang bekerja di lingkungan PLS. Padahal, tenaga pengajar di sektor PLS juga mempunyai tugas yang sama dengan tenaga pengajar di sektor pendidikan formal.
"Saya merasa, tenaga pengajar di lingkungan PLS sering dimarginalkan," katanya kepada "PR", saat ditemui di sebuah lembaga kursus di Cicadas, Bandung.
Pemarginalan tenaga pengajar di lingkungan PLS tersebut, kata Entang, bisa dilihat dari isi RUU Guru yang tidak menyebutkan tenaga pendidik di PLS. Padahal, lanjutnya, tugas tenaga pengajar di PLS tidak kalah berat dibandingkan tugas para guru di lembaga pendidikan formal.
Karena itu, Entang meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib tenaga pengajar di sektor PLS. Dalam hal ini, pembuatan RUU Guru juga seharusnya mengakomodasi kepentingan tenaga pengajar di PLS.
Hal senada juga disampaikan Yani, tenaga pengajar paket A di Katapang, Kabupaten Bandung. Dia mengaku sangat setuju jika implementasi UU Guru nanti, juga berlaku untuk para tenaga pengajar di PLS. Dengan demikian, peningkatan kesejahteraan bukan hanya untuk guru di lembaga pendidikan formal, tetapi juga bagi guru PLS.
Harus adil
Pengamat pendidikan, Iwan Hermawan, mengatakan, peningkatan kesejahteraan guru harus diterapkan secara adil kepada semua tenaga pengajar, baik di lingkungan pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Karena itu, pemberlakuan UU Guru juga harus mengakomodasi kepentingan para pengajar di sektor PNF atau PLS.
Sementara itu, dalam seminar mengenai pemberdayaan guru di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (20/10), anggota Komisi X DPR RI, Masduki Baedowi, mengatakan, RUU Guru kini sedang dalam tahap uji publik. Karena itu, isi dari RUU Guru masih bisa berubah.
Pada tahap uji publik itu, kata Masduki, masukan dari masyarakat sangat diperlukan. Masukan dapat disampaikan ke Komisi X DPR RI, baik itu melalui surat maupun datang langsung ke Komisi X

MK: Anggaran Pendidikan 20 persen

Republika (20-10-2005)
JAKARTA -- Dalam uji materil UU nomor 20 tahu 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemenuhan pendanaan pendidikan tidak dapat dilakukan secara bertahap oleh pemerintah. MK memprioritaskan agar pemerintah memenuhi pendanaan pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara langsung, minimal 20 persen.
Putusan MK nomor 11/PUU-III/2005 itu dibacakan secara bergiliran oleh para hakim konstitusi yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie. Pembacaan putusan itu dilakukan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (19/10).
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa pelaksanaan ketentuan konstitusi tak dapat ditunda-tunda. UUD 1945 telah secara expressis verbis menentukan bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen harus diprioritaskan dalam APBN dan APBD. Ini tak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis di bawahnya.
Dalam penjelasan pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendanaan pendidikan itu dilakukan secara bertahap. Adanya penjelasan pasal ini menjadi alasan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah untuk tidak memenuhi pagu 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD. Hal itu, menurut MK bertentangan dengan UUD 1945 sehingga majelis menyatakan penjelasan pasal 49 ayat 1 tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat.
Soal pendanaan ini perlu diprioritaskan dalam pendidikan. Dalam pertimbangan MK dikatakan,''Pendidikan di Indoensia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan di Indonesia yang perwujudannya antara lain adalah pemberian prioritas di bidang anggaran,''baca Jimly.
DPR dalam keterangan tertulisnya di persidangan sebelumnya mengatakan bahwa pendanaan pendidikan dilakukan sesuai Penjelasan pasal 49 ayat 1, yaitu secara bertahap. Hal itu dilakukan karena faktor kemampuan negara dalam menghimpun pendapatan negara yang tidak memungkinkan untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen.
Di pihak lain, dalam UU nomor 36 tahun 2004 tentang APBN anggaran tahun 2005 menyebutkan, anggaran pendidikan sebesar 7 persen. Secara prima facie, hal itu bertentangan dengan ketentuan pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Dalam hal ini, MK juga memutus perkara nomor 12/PUU-III/2005 soal UU APBN itu. Dalam putusannya, MK menyatakan,''Ketentuan dalam UU APBN tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus melaksanakan APBN tahun sebelumnya, yakni tahun 2004, padahal anggaran pendidikannya dalam APBN tahun 2004 hanya 6,6 persen.''

Kemiskinan dan Kesempatan Memperoleh Pendidikan


Djauzak Ahmad (Kompas, 5-8-2005)
BAGI bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya.
SEHARUSNYA negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
NEGERI ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin.
Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang lain.
PENULIS sengaja memfokuskan tulisan ini pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar enam tahun karena bagi warga negara sekurang-kurangnya harus memiliki kemampuan setingkat sekolah dasar, dengan harapan akan memperoleh pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, seorang warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya.
Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.
Di lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.
Adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat bahwa wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota. Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri- sendiri dengan melanggar ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.
MENURUT pengamatan penulis, alasan diadakannya pungutan yang memberatkan itu antara lain untuk kesejahteraan guru dan pembangunan lokal tambahan. Kedua alasan itu adalah alasan klasik yang sudah lama terjadi. Akan tetapi, pungutan yang dilakukan akhir-akhir ini dinilai sudah tidak wajar karena jumlahnya begitu besar dan memberatkan, terutama bagi yang miskin.
Untuk mengatasi semua itu, pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan.
Kedua, guru atau profesi guru adalah profesi khusus. Profesi guru tidak sama dengan pegawai negeri lain. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah.
Ketiga, apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan itu, mereka harus dikenai sanksi.
Keempat, kepada pengelola pendidikan dan komite sekolah, harus selalu ada koordinasi dengan sekolah agar ketentuan- ketentuan kurikuler, terutama dalam penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.
Djauzak Ahmad Mantan Direktur Pendidikan Dasar; Ketua Majelis Pendidikan Riau

MBS = Masyarakat Bayar Sendiri


Darmaningtyas(Kompas, 5-8-2004)
INAWATI (13) gadis cilik dari Bogor itu menuturkan, dirinya tidak sekolah ke jenjang SLTP karena tidak punya biaya. Ayahnya seorang pengangguran, kadang menjual minuman botol. Sementara ibunya hanya pekerja rumah tangga. Karena keinginan sekolahnya tinggi, ia masuk ke sanggar belajar yang difasilitasi lembaga swadaya masyarakat. Namun, itu tidak dikatakan kepada ibunya karena pasti tidak diizinkan. Ibunya menuntut dia bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.
KISAH itu terungkap saat dialog dengan anak-anak miskin di Jakarta, 23 Juli 2004, yang diprakarasai Yayasan Kelopak dan kawan-kawan. Ketika ditanya, "siapa yang tidak bersekolah?", ternyata yang tunjuk jari lebih dari 10 anak atau sekitar 20 persen dari anak-anak yang hadir. Semua anak yang tidak bersekolah itu memiliki alasan sama: tidak ada biaya dan dituntut bekerja oleh orangtuanya. Di Yogyakarta, ada orangtua yang menunda anaknya masuk sekolah dasar (SD) guna menunggu kakaknya lulus dulu sehingga bebannya tidak berat.
Bila kita melihat bahwa stratifikasi sosial di masyarakat "didominasi" kelas bawah, kasus anak-anak tidak bisa sekolah karena masalah biaya itu menjadi amat banyak, jumlahnya mencapai jutaan, hanya saja tidak termonitor.
Atas keadaan itu, negara juga tidak peduli terhadap nasib orang miskin. Terbukti, pada acara dialog itu, tidak seorang pun pejabat negara hadir meski Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) diundang. Bahkan, wakil dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang berjanji hadir pun tidak jadi datang. Mereka memilih pergi ke Ancol yang dihadiri Presiden Megawati serta anak-anak kaya dan pintar. Anak-anak yang miskin dan terpinggirkan tidak memperoleh perhatian sama sekali.
Kemiskinan dan ketidakadilan
Kemiskinan dan ketidakadilan merupakan akar masalah dari persoalan rendahnya angka partisipasi di SLTP sehingga Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP baru mencapai 77,40 persen meski program Wajib Belajar Sembilan Tahun sudah berlangsung sepuluh tahun. Mayoritas alasan tidak bersekolah adalah karena faktor biaya. Namun di lain pihak, pertumbuhan kendaraan pribadi di kota-kota besar maupun kecil amat tinggi. Ini menunjukkan adanya suatu ironi ketidakadilan: di antara banyak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, banyak pula yang hidup dalam kemewahan. Masalahnya, adanya ketidakpekaan dari yang kaya terhadap yang miskin.
Ironisnya, ketidakadilan juga diperlihatkan negara. Di satu pihak anggaran pendidikan dikurangi dengan alasan negara sedang bangkrut, tetapi di lain pihak negara bisa membayar bunga dan cicilan utang luar negeri yang mencapai Rp 134 triliun dalam satu tahun, bisa memberi uang pesangon pegawai kontrakan BPPN ratusan miliar (padahal umumnya tidak ada pegawai kontrakan itu dapat pesangon), bisa membeli helikopter, dan membebaskan para koruptor kelas kakap yang selama ini membuat bangsa Indonesia jatuh miskin. Subsidi negara untuk pendidikan terkonsentrasi ke sekolah-sekolah favorit, sementara sekolah-sekolah swasta pinggiran yang menampung golongan miskin dan bodoh malah tidak ada subsidi sama sekali. Lalu kepada siapa anak-anak miskin dan bodoh itu mengeluhkan soal nasibnya bila negeri sendiri tidak peduli pada mereka?
Rasa pedih tidak bisa bersekolah sebetulnya tidak hanya dirasakan anak- anak, tetapi juga oleh orangtua yang berhasrat menyekolahkan anaknya, tetapi terbentur masalah biaya yang tidak terjangkau. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat orangtua miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Mengingat, masuk TK dan SDN saja sekarang ada yang memungut biaya Rp 500.000-Rp 1.000.000, bahkan banyak yang di atas Rp 1 juta. Sementara masuk ke SLTP-SLTA bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 5 juta (tergantung sekolah). Celakanya, kini SLTP/SLTA negeri tidak otomatis lebih murah dibandingkan negara sekolah swasta. Semua amat tergantung kebijakan sekolah masing-masing.
Bayar sendiri
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Di negara-negara lain seperti Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat yang lebih dulu menjalankan MBS, memaknai MBS sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan di sekolah. Bila semula keputusan dilakukan secara tunggal oleh negara, dengan adanya MBS itu proses pengambilan keputusan dilakukan bersama pihak-pihak yang terlibat (multistakeholder), termasuk orangtua murid dan murid sendiri. MBS sama sekali tidak berkait dengan masalah biaya karena pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara.
Namun, di Indonesia MBS dimaknai lain, terutama untuk melakukan mobilisasi dana, bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. Karena itu, pembentukan Komite Sekolah/Dewan Pendidikan-yang merupakan organ MBS-selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya tidak transparan karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, persis seperti Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) di masa lalu. Dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap masalah pendidikan warganya.
Keluhan masyarakat dalam hal pendidikan, terutama golongan miskin, karena dari soal seragam sekolah, tas, sepatu, buku pelajaran, buku tulis, uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tabungan, dan sejenisnya harus diusahakan dalam waktu amat singkat dan bersamaan, tidak otomatis mendapat respons dari Komite Sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah melalui Komite Sekolah justru menegaskan, semua ini terjadi karena kini MBS, jadi semua harus diusahakan oleh sekolah. Dengan kata lain, MBS kependekan dari "Masyarakat Bayar Sendiri". Karena MBS, masyarakat bayar sendiri pendidikannya.
Kondisinya akan lebih buruk lagi bila kelak RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) disahkan menjadi UU BHP. Berubahnya status lembaga pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Oleh karena itu, RUU BHP itu harus ditolak, jangan sampai disahkan menjadi undang-undang.
Kehadiran UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang semula diharapkan dapat melindungi warga, ternyata malah mengaburkan hak- hak warga negara untuk memperoleh akses pendidikan dari negara. Pasal 34 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 menyatakan "Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun tanpa memungut biaya". Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 Ayat (1) yang menyatakan, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat".
Adanya dua pasal kontradiktif itu memperlemah posisi warga. Warga yang menuntut pelayanan pendidikan secara gratis dapat dituntut balik dengan kata- kata "bukankah pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat?" Pasal 46 UU Nomor 20 Tahun 2003 inilah yang lalu menjadi cantolan pelaksanaan MBS.
Cara pemerintah melempar tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke MBS itu lalu ditiru pengelola sekolah swasta. Meski masyarakat sudah tahu kalau sekolah-sekolah swasta itu sejak dulu mendapat subsidi kecil dari pemerintah, para pengelola sekolah swasta selalu melegitimasi pungutannya pada "MBS".
Karena MBS, sekolah harus mandiri sehingga biaya sekolah harus dinaikkan. Namun, transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan tidak terjadi sama sekali.
Mengakhiri stres
Stres masyarakat yang pusing mencari sekolah dan biaya sekolah harus cepat diakhiri sebelum berkembang menjadi sakit jiwa. Ada beberapa langkah teknis dan strategis guna mengurangi stress itu. Pertama, secara teknis, Depdiknas perlu merevisi kalender pendidikan yang mengatur jadwal ujian akhir, ulangan umum semester genap, libur akhir tahun ajaran, penerimaan murid baru, dan permulaan tahun ajaran baru agar tidak berdekatan. Jadwal yang terlalu berdekatan membuat orangtua maupun murid tidak sempat bernafas. Orangtua terus diburu mencari biaya dan murid terus ditekan untuk belajar tiada henti. Kini, berilah kesempatan kepada orangtua dan murid untuk rileks sejenak melalui kecerdasan membuat kalender pendidikan.
Kedua, yang lebih strategis adalah mengoreksi konsep MBS dan organ (Komite Sekolah/Dewan Pendidikan) agar berfungsi sebagai proses pendemokratisasian pendidikan, bukan untuk mobilisasi dana pendidikan. Dana pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara, negara mampu menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya yang miskin dari SD-PT asalkan mau. Terbukti banyak uang negara yang dikorup pejabatnya, pengusaha, bayar utang, membeli Sukhoi, operasi militer, dan inefisiensi lainnya. Jadi, jangan atas karena korupsi pejabat, masyarakat menjadi korban.
Ketiga, revisi UU No 20/2003 yang menjadi titik awal privatisasi pendidikan, sekaligus melempar tanggung jawab negara terhadap urusan pendidikan warganya. Pendidikan tetap menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh negara.
Keempat, batalkan rencana pembahasan dan pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP karena hal itu akan mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kebodohan sepanjang masa.
Darmaningtyas Anggota Dewan Penasihat CBE di Jakarta

MBS = Masyarakat Bayar Sendiri


Darmaningtyas(Kompas, 5-8-2004)
INAWATI (13) gadis cilik dari Bogor itu menuturkan, dirinya tidak sekolah ke jenjang SLTP karena tidak punya biaya. Ayahnya seorang pengangguran, kadang menjual minuman botol. Sementara ibunya hanya pekerja rumah tangga. Karena keinginan sekolahnya tinggi, ia masuk ke sanggar belajar yang difasilitasi lembaga swadaya masyarakat. Namun, itu tidak dikatakan kepada ibunya karena pasti tidak diizinkan. Ibunya menuntut dia bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.
KISAH itu terungkap saat dialog dengan anak-anak miskin di Jakarta, 23 Juli 2004, yang diprakarasai Yayasan Kelopak dan kawan-kawan. Ketika ditanya, "siapa yang tidak bersekolah?", ternyata yang tunjuk jari lebih dari 10 anak atau sekitar 20 persen dari anak-anak yang hadir. Semua anak yang tidak bersekolah itu memiliki alasan sama: tidak ada biaya dan dituntut bekerja oleh orangtuanya. Di Yogyakarta, ada orangtua yang menunda anaknya masuk sekolah dasar (SD) guna menunggu kakaknya lulus dulu sehingga bebannya tidak berat.
Bila kita melihat bahwa stratifikasi sosial di masyarakat "didominasi" kelas bawah, kasus anak-anak tidak bisa sekolah karena masalah biaya itu menjadi amat banyak, jumlahnya mencapai jutaan, hanya saja tidak termonitor.
Atas keadaan itu, negara juga tidak peduli terhadap nasib orang miskin. Terbukti, pada acara dialog itu, tidak seorang pun pejabat negara hadir meski Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) diundang. Bahkan, wakil dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang berjanji hadir pun tidak jadi datang. Mereka memilih pergi ke Ancol yang dihadiri Presiden Megawati serta anak-anak kaya dan pintar. Anak-anak yang miskin dan terpinggirkan tidak memperoleh perhatian sama sekali.
Kemiskinan dan ketidakadilan
Kemiskinan dan ketidakadilan merupakan akar masalah dari persoalan rendahnya angka partisipasi di SLTP sehingga Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP baru mencapai 77,40 persen meski program Wajib Belajar Sembilan Tahun sudah berlangsung sepuluh tahun. Mayoritas alasan tidak bersekolah adalah karena faktor biaya. Namun di lain pihak, pertumbuhan kendaraan pribadi di kota-kota besar maupun kecil amat tinggi. Ini menunjukkan adanya suatu ironi ketidakadilan: di antara banyak orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, banyak pula yang hidup dalam kemewahan. Masalahnya, adanya ketidakpekaan dari yang kaya terhadap yang miskin.
Ironisnya, ketidakadilan juga diperlihatkan negara. Di satu pihak anggaran pendidikan dikurangi dengan alasan negara sedang bangkrut, tetapi di lain pihak negara bisa membayar bunga dan cicilan utang luar negeri yang mencapai Rp 134 triliun dalam satu tahun, bisa memberi uang pesangon pegawai kontrakan BPPN ratusan miliar (padahal umumnya tidak ada pegawai kontrakan itu dapat pesangon), bisa membeli helikopter, dan membebaskan para koruptor kelas kakap yang selama ini membuat bangsa Indonesia jatuh miskin. Subsidi negara untuk pendidikan terkonsentrasi ke sekolah-sekolah favorit, sementara sekolah-sekolah swasta pinggiran yang menampung golongan miskin dan bodoh malah tidak ada subsidi sama sekali. Lalu kepada siapa anak-anak miskin dan bodoh itu mengeluhkan soal nasibnya bila negeri sendiri tidak peduli pada mereka?
Rasa pedih tidak bisa bersekolah sebetulnya tidak hanya dirasakan anak- anak, tetapi juga oleh orangtua yang berhasrat menyekolahkan anaknya, tetapi terbentur masalah biaya yang tidak terjangkau. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat orangtua miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Mengingat, masuk TK dan SDN saja sekarang ada yang memungut biaya Rp 500.000-Rp 1.000.000, bahkan banyak yang di atas Rp 1 juta. Sementara masuk ke SLTP-SLTA bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 5 juta (tergantung sekolah). Celakanya, kini SLTP/SLTA negeri tidak otomatis lebih murah dibandingkan negara sekolah swasta. Semua amat tergantung kebijakan sekolah masing-masing.
Bayar sendiri
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Di negara-negara lain seperti Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat yang lebih dulu menjalankan MBS, memaknai MBS sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan di sekolah. Bila semula keputusan dilakukan secara tunggal oleh negara, dengan adanya MBS itu proses pengambilan keputusan dilakukan bersama pihak-pihak yang terlibat (multistakeholder), termasuk orangtua murid dan murid sendiri. MBS sama sekali tidak berkait dengan masalah biaya karena pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara.
Namun, di Indonesia MBS dimaknai lain, terutama untuk melakukan mobilisasi dana, bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. Karena itu, pembentukan Komite Sekolah/Dewan Pendidikan-yang merupakan organ MBS-selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya tidak transparan karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, persis seperti Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) di masa lalu. Dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap masalah pendidikan warganya.
Keluhan masyarakat dalam hal pendidikan, terutama golongan miskin, karena dari soal seragam sekolah, tas, sepatu, buku pelajaran, buku tulis, uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tabungan, dan sejenisnya harus diusahakan dalam waktu amat singkat dan bersamaan, tidak otomatis mendapat respons dari Komite Sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah melalui Komite Sekolah justru menegaskan, semua ini terjadi karena kini MBS, jadi semua harus diusahakan oleh sekolah. Dengan kata lain, MBS kependekan dari "Masyarakat Bayar Sendiri". Karena MBS, masyarakat bayar sendiri pendidikannya.
Kondisinya akan lebih buruk lagi bila kelak RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) disahkan menjadi UU BHP. Berubahnya status lembaga pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Oleh karena itu, RUU BHP itu harus ditolak, jangan sampai disahkan menjadi undang-undang.
Kehadiran UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang semula diharapkan dapat melindungi warga, ternyata malah mengaburkan hak- hak warga negara untuk memperoleh akses pendidikan dari negara. Pasal 34 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 menyatakan "Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun tanpa memungut biaya". Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 Ayat (1) yang menyatakan, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat".
Adanya dua pasal kontradiktif itu memperlemah posisi warga. Warga yang menuntut pelayanan pendidikan secara gratis dapat dituntut balik dengan kata- kata "bukankah pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat?" Pasal 46 UU Nomor 20 Tahun 2003 inilah yang lalu menjadi cantolan pelaksanaan MBS.
Cara pemerintah melempar tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke MBS itu lalu ditiru pengelola sekolah swasta. Meski masyarakat sudah tahu kalau sekolah-sekolah swasta itu sejak dulu mendapat subsidi kecil dari pemerintah, para pengelola sekolah swasta selalu melegitimasi pungutannya pada "MBS".
Karena MBS, sekolah harus mandiri sehingga biaya sekolah harus dinaikkan. Namun, transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan tidak terjadi sama sekali.
Mengakhiri stres
Stres masyarakat yang pusing mencari sekolah dan biaya sekolah harus cepat diakhiri sebelum berkembang menjadi sakit jiwa. Ada beberapa langkah teknis dan strategis guna mengurangi stress itu. Pertama, secara teknis, Depdiknas perlu merevisi kalender pendidikan yang mengatur jadwal ujian akhir, ulangan umum semester genap, libur akhir tahun ajaran, penerimaan murid baru, dan permulaan tahun ajaran baru agar tidak berdekatan. Jadwal yang terlalu berdekatan membuat orangtua maupun murid tidak sempat bernafas. Orangtua terus diburu mencari biaya dan murid terus ditekan untuk belajar tiada henti. Kini, berilah kesempatan kepada orangtua dan murid untuk rileks sejenak melalui kecerdasan membuat kalender pendidikan.
Kedua, yang lebih strategis adalah mengoreksi konsep MBS dan organ (Komite Sekolah/Dewan Pendidikan) agar berfungsi sebagai proses pendemokratisasian pendidikan, bukan untuk mobilisasi dana pendidikan. Dana pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara, negara mampu menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya yang miskin dari SD-PT asalkan mau. Terbukti banyak uang negara yang dikorup pejabatnya, pengusaha, bayar utang, membeli Sukhoi, operasi militer, dan inefisiensi lainnya. Jadi, jangan atas karena korupsi pejabat, masyarakat menjadi korban.
Ketiga, revisi UU No 20/2003 yang menjadi titik awal privatisasi pendidikan, sekaligus melempar tanggung jawab negara terhadap urusan pendidikan warganya. Pendidikan tetap menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh negara.
Keempat, batalkan rencana pembahasan dan pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP karena hal itu akan mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kebodohan sepanjang masa.
Darmaningtyas Anggota Dewan Penasihat CBE di Jakarta

Pajak Sosial Pendidikan, Mengapa Tidak?


Frietz R Tambunan (Kompas, 5-8-2005)
TÖGIZITA adalah sebuah desa berpenduduk 2.000 jiwa di pedalaman Nias (Sumatera Utara). Jaraknya dari Gunung Sitoli hanya 59 km, tetapi dibutuhkan lima jam dengan kendaraan untuk mencapainya. Desa yang diapit Sungai Oyo dan Siwalawa (masing-masing lebarnya 50-80 meter dan tanpa jembatan) mempunyai tiga sekolah dasar dengan 700 murid, satu SMP, dan satu SMA persiapan yang baru dibuka tahun ini. Selain dari Tögizita, siswa datang dari desa-desa kecil di seberang kedua sungai yang mengapit Tögizita.
MESKI jumlah murid tercatat hanya sekitar 700 orang, yang hadir di sekolah setiap hari bisa hanya setengahnya. Penyebabnya bervariasi: hujan, hari mbale (pekan), atau pesta kawin. Jika hujan turun-dan itu bisa seminggu-penduduk tidak bisa mengambil havea (getah karet) dengan konsekuensi uang tidak ada sehingga anak-anak tak bisa pergi ke sekolah. Di musim hujan, Sungai Oyo dan Siwalawa akan meluap dua kali seminggu dan semua anak sekolah yang berasal dari luar Tögizita tidak bisa ke sekolah karena tak ada jembatan.
Kebanyakan anak-anak sekolah dasar (SD) mengalami drop-out karena orangtua lebih suka anak-anak mereka bekerja mengumpulkan getah karet. Akses ke sekolah menengah pertama amat kecil, terutama bagi perempuan karena tuntutan adat: anak perempuan yang sudah remaja (usia masuk SD rata-rata 8-10 tahun!) dilarang berjalan bersama dengan anak lelaki sebaya sepulang sekolah karena harus melewati hutan dan hari sudah gelap. Sebagian anak-anak yang tak bisa sekolah akan merantau ke daratan Sumatera, seperti Sibolga, Padang, dan Pekanbaru, dan menjadi "pekerja anak" di perkebunan kelapa sawit atau pencuci piring di warung.
Ini adalah potret buram kondisi pendidikan dasar kita sekaligus mengungkapkan, Wajib Belajar Sembilan Tahun yang dideklarasikan tahun 1994 sepertinya hanya terjadi di atas kertas. Potret Tögizita adalah secuil kenyataan yang membenarkan temuan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) 2004 bahwa mutu manusia Indonesia tergolong rendah. Meski masih lebih bersifat "data dan angka" sehingga kurang mencerminkan realitas yang lebih mendalam, LPMI 2004 mendesak pemerintah dan masyarakat memberikan prioritas investasi lebih tinggi pada upaya pembangunan manusia, terutama lewat pendidikan dan kesehatan.
STRATEGI pembangunan Indonesia bergerak sejalan minat politik rezim sezaman. Bagi Soekarno, politics is the king dan ia rajin mengubrak-abrik kabinet. Soeharto percaya, economic is the king (ekonomi adalah panglima) dan di kota-kota besar Indonesia muncul gedung-gedung bertingkat, perumahan eksklusif, mal-mal keren, jalan tol dan jalan layang, serta berbagai fasilitas trendi yang memanjakan pemilik modal.
Semula, rezim Orde Baru amat yakin akan terjadi mukjizat trickle down effects yang akan meneteskan hasil pembangunan kepada rakyat miskin. Kejayaan politik dan ekonomi ternyata tak langgeng karena modal utama pembangunan, yaitu manusia, terabaikan. Kondisi itu berlanjut hingga kini karena bangsa kita kurang memiliki modal manusiawi berkualitas yang diperlukan guna menopang pertumbuhan dan kemajuan ekonomi. Sepertinya pemerintah selama ini tetap tak sadar akan fungsi ekonomis pendidikan sehingga, seperti dikatakan M Chatib Basri, akses terhadap pendidikan dan kesehatan amat buruk dan ini membuat sepertiga atau separuh penduduk Indonesia masih rentan terhadap masalah kemiskinan (Kompas, 24/7/2004).
Teori pembangunan di masa lampau menganut prinsip, kemiskinan terjadi karena kurangnya kesanggupan untuk menabung dan membangun modal fisik. Theodore W Schultz lalu mengembangkan prinsip modal manusiawi yang dalam penelitiannya bisa membuktikan bahwa "mutu" penduduk, yaitu kemampuan fisik maupun psikis-intelektual, lebih penting bagi proses pembangunan daripada modal fisik. Bertolak dari pandangan ini, negara-negara maju berinisiatif mendahulukan penanaman modal pada manusia di bidang kesehatan dan pendidikan. Pandangan ini dipertegas Amartya Sen (pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998) dalam buku Inequality Reexamined (1992) yang menekankan pentingnya kesempatan (entitlement) karena penyediaan lembaga pendidikan dan sekolah saja tidak cukup jika tidak sekaligus diciptakan kerangka institusional, yang mendukung orang yang paling miskin bisa masuk ke lembaga itu dan memanfaatkannya untuk memerangi kemiskinan.
Sejak tahun 1990, Bank Dunia lewat Annual World Development Report-nya menekankan urgensi "pembangunan manusia". Hal yang sama ditekankan lagi dalam Human Development Report yang tiap tahun diterbitkan UNDP dan memuat Human Development Index yang menggarisbawahi perkembangan dan penggunaan kemampuan-kemampuan manusiawi sebagai saka guru pembangunan. Maka, perlu penanaman modal pada manusia dalam bidang pendidikan sebagai prasyarat untuk memberdayakan orang agar berjaya memerangi kemiskinan. Hal yang sama ditegaskan lagi dalam "Inisiatif 20:20" di Kopenhagen tahun 1995, yang mewajibkan semua negara kaya dan berkembang memakai 20 persen dari bantuan pembangunan atau anggaran belanja negara bagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
Di awal tahun 1972, ketika program lifelong education sedang disosialisasikan UNESCO, kesadaran akan pembangunan manusia ini sudah disuarakan Edgar Faure, Ketua The International Commission for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan adalah tugas negara yang paling penting!
SUDAH 10 tahun Wajib Belajar Sembilan Tahun dilaksanakan di Indonesia. Salah satu alasan dari pelaksanaan wajib belajar adalah karena lebih dari 80 persen tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SD, tidak tamat SD, dan sebagian buta huruf sehingga jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, pendidikan tenaga kerja di Indonesia jauh lebih rendah. Namun, melihat rendahnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan, ada kesan pemerintah sepertinya belum terpikat menjadikan proyek pembangunan manusia sebagai proyek prioritas. Sesuai dengan rekomendasi LPMI 2004, anggaran yang harus disediakan pemerintah untuk memenuhi hak dasar (pangan, kesehatan, pendidikan dasar, dan keamanan) rakyat setiap tahunnya minimal 6 persen dari produk domestik bruto, sedangkan di Indonesia hanya 3 persen. Untuk tahun 2004, pengeluaran tahunan untuk pendidikan di Indonesia sebesar Rp 33,0 triliun, sedangkan yang dibutuhkan Rp 58,0 triliun.
Kurangnya uang untuk pendidikan berakibat langsung pada kecilnya akses ke pendidikan dasar. Selain itu, sarana pendidikan, seperti gedung dan peralatan pembelajaran, tak dapat dirawat dan diperbaharui, pengadaan tenaga pengajar yang profesional seret, dan penghargaan terhadap guru tetap rendah. Di pedesaan dan daerah terpencil ada banyak SD dengan hanya satu guru, dan bukan rahasia lagi sejumlah guru negeri di pedalaman jarang muncul di sekolah karena nyambi bekerja di kota atau menjadi pedagang di tempat lain. Dengan kondisi ini, sebagian besar anak bangsa di desa tetap bodoh dan akan tetap miskin.
Apa yang harus kita buat? Kita yakin, pemerintah tidak akan sanggup mengatasi masalah pendidikan yang kronis dan tidak adil jika masyarakat membiarkan pemerintah berjuang sendiri. Konsep pendidikan untuk semua (education for all) menekankan, pendidikan adalah tanggung jawab semua: pemerintah, masyarakat, orangtua, dan kalangan bisnis.
Selama ini lembaga-lembaga sosial-keagamaan sudah cukup terlibat dalam membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan. Yang masih kurang dioptimalkan adalah peran kalangan bisnis dan orang-orang kaya yang amat potensial membantu pemerintah dan masyarakat dalam menyediakan dana pendidikan lewat semacam pajak sosial. Pemerintah (pusat maupun daerah) perlu mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan sejenis program community development (pengembangan masyarakat), di mana perusahaan memberi hibah sekian persen dari keuntungannya untuk dipakai masyarakat memenuhi kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.
Kalangan bisnis dan orang- orang kaya perlu lebih didorong dan disadarkan melaksanakan tanggung jawab sosial mereka dengan cara melakukan investasi kemanusiaan lewat pendidikan. Jika pemerintah daerah dapat memanfaatkan potensi tidur perusahaan-perusahaan menengah dan besar, kita yakin di sekitar pabrik dan perusahaan besar akan berdiri sekolah-sekolah yang representatif dengan gedung yang elok, peralatan pembelajaran yang memadai, dan guru-guru yang bersemangat mengajar karena dibayar dengan pantas. Janganlah seperti sekarang, persis di dekat pabrik besar yang menghasilkan keuntungan ratusan miliar rupiah berdiri sekolah anak bangsa yang reyot dan berdinding tepas!
"The wealth of a nation lies in its people," tulis David Warwick dalam buku The Wealth of a Nation. Indonesia, yang mempunyai penduduk lebih dari 250 juta jiwa ditambah kelimpahan sumber daya alam yang tak terukur, adalah sebuah kekayaan yang sedang terabaikan dan kita menjadi miskin karena kebodohan. Kemiskinan membuat anak-anak kita tidak cerdas sebagai akibat kurangnya sekolah yang baik. Kita mempunyai pemerintah yang cuek bebek pada pembangunan manusia dan sibuk memikirkan kontinuitas kekuasaan. Kita amat membutuhkan sebuah pemerintah yang bermoral, yang antikemiskinan dan KKN, yang berempati kepada rakyat yang didera kemiskinan karena kurang pendidikan. Kita memerlukan orang-orang kaya yang tidak hanya cekatan membangun plaza yang mewah di kota-kota besar, tetapi juga cekatan membangun sekolah yang baik di desa-desa. Kita membutuhkan perusahaan-perusahaan yang selain rela menyetor pajak ke kas negara, juga terpanggil menyisihkan sedikit keuntungannya untuk membangun sekolah dan memberi beasiswa bukan saja bagi mahasiswa di perguruan tinggi, tetapi juga bagi anak-anak desa yang miskin agar dapat menikmati hak mereka atas pendidikan. Kita membutuhkan para pengusaha dan lembaga-lembaga keagamaan yang tidak hanya mau membangun sekolah-sekolah internasional dengan uang sekolah puluhan juta rupiah per tahun di kota-kota, tetapi juga mau membuka sekolah bermutu di desa-desa terpencil.
Sebenarnya, bangsa ini tidak miskin harta. Kemiskinan kita terutama kemiskinan hati: tak mau berbagi dan egois. Efeknya adalah tak cukup uang untuk pendidikan sehingga anak- anak bangsa ini menjadi bodoh dan karena bodoh menjadi miskin.
Semoga presiden baru nanti mempunyai hati dan empati terhadap orang-orang desa, miskin, dan berani menerapkan pajak sosial terhadap perusahaan- perusahaan besar dan orang- orang kaya agar kita memiliki uang untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Hanya orang cerdaslah yang bisa melindas kemiskinan!
Frietz R Tambunan Alumnus Salesian University of Rome Bidang Manajemen Pendidikan; Pengajar pada Unika St Thomas, Medan

Menuntut Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan


Anita Lie (Kompas, 22-10-2005)
PASAL 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Janji pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003, ditandatangani Presiden 8 Juli 2003.
DALAM Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) antara lain disebutkan: Pertama, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" (Pasal 5 Ayat (1)). Kedua, "setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar" (Pasal 6 Ayat (1)). Ketiga, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi" (Pasal 11 Ayat (1)). Keempat, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun" (Pasal 11 Ayat (2)).
Janji pemerintah ini sudah sesuai dengan Konvensi Internasional Bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika, 2000. Konvensi menyebutkan, semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya. Selanjutnya, dalam masa kampanye legislatif dan calon presiden (capres), pendidikan menjadi komoditas yang ditonjolkan. Semua capres menjanjikan pembenahan sektor pendidikan. Yang belum jelas, komitmen menyentuh akar permasalahan dalam bidang pendidikan dan skenario mengatasi berbagai permasalahan itu.
Permasalahan
Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) dan (2), UU SPN No 20/2003, dan kesepakatan dalam Konvensi Internasional Bidang Pendidikan di Dakkar tahun 2000, masyarakat bisa mempunyai persepsi, pendidikan dasar akan gratis (baca, misalnya, Kompas, 31/8/2003).
Padahal kenyataannya, siswa masih dikenai berbagai pungutan, baik di sekolah swasta maupun sekolah negeri. Bahkan ditengarai, Komite Sekolah yang semestinya berfungsi sebagai lembaga pengontrol sekolah malah memberikan justifikasi bagi berbagai pungutan yang diadakan sekolah (Kompas, 2/8/2004). Pemberian subsidi biaya oleh pemerintah tidak serta-merta menggratiskan pendidikan bagi warga. Di Jawa Timur, misalnya, pemerintah provinsi dan kabupaten memberi subsidi sebesar Rp 15.000 untuk SD-MI (sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah) dan Rp 20.000 untuk SLTP-MTs (madrasah tsanawiyah). Ini berarti di sekolah-sekolah yang membiayai penyelenggaraan pendidikan lebih dari Rp 15.000 dan Rp. 20.000 per siswa, ada kemungkinan besar orangtua atau wali murid harus menanggung kekurangan biaya. Padahal, ada banyak sekolah (baik negeri maupun swasta) yang menganggarkan unit cost di atas Rp. 15.000 dan Rp. 20.000.
Program pemberian subsidi biaya minimal pendidikan dasar bisa menimbulkan dua macam kekecewaan. Pertama, sebagian masyarakat yang sudah terlanjur berharap pada pendidikan gratis untuk anak berusia 7 sampai dengan 15 tahun akan kecewa karena ternyata orangtua atau wali murid masih harus membayar iuran pendidikan. Sekali lagi, mereka akan beranggapan, yang dilaksanakan hanya penggantian istilah dan permainan kata-kata (SPP- Sumbangan Pembinaan Pendidikan-ditiadakan, juga iuran BP3-Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan-tidak diberlakukan. Namun, ternyata tetap masih ada biaya yang harus dikeluarkan).
Kedua, orangtua (terutama dari kalangan miskin) makin tercekik dengan berbagai biaya tambahan mulai dari seragam, buku pelajaran, darma wisata, dan sebagainya. Dalam lingkaran setan kemiskinan pendidikan siswa-lah yang menjadi korban pada tataran yang paling menderita. Dalam proyek pengadaan buku pelajaran, seragam, dan sebagainya, guru (dan juga kepala sekolah) mengambil keuntungan dengan dalih kesejahteraan guru yang amat memprihatinkan. Jika siswa tidak mampu membayar berbagai biaya tambahan itu, terancamlah kesinambungan pendidikannya.
Pembiayaan pendidikan yang tanggung-tanggung oleh pemerintah akan menimbulkan (atau makin mengukuhkan) kesenjangan di masyarakat.
Kesenjangan sekolah kaya-miskin
Minimnya tanggung jawab dan peran pemerintah dalam bidang pendidikan makin mengukuhkan segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Siswa-siswi dari keluarga miskin yang mendapat subsidi pemerintah tidak akan mampu menanggung kekurangan biaya sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin), di mana biaya operasional per anak tidak (jauh) melebihi unit cost yang sudah ditetapkan. Sementara itu, siswa-siswi dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapat iuran pendidikan memadai dari siswa, sekolah- sekolah ini akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. (catatan: Besarnya anggaran tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan di suatu sekolah. Namun, kekurangan anggaran hampir pasti amat menghambat peningkatan mutu pendidikan). Dalam jangka waktu panjang, disparitas sekolah miskin dan kaya serta anak miskin dan kaya akan makin lebar. Bahkan, di beberapa daerah banyak sekolah miskin harus ditutup karena sudah tidak mampu lagi membiayai penyelenggaraan pendidikan.
Efek kemiskinan dalam pendidikan juga memperlebar jurang antara kota dan desa (Pendidikan dan Kemiskinan Kita, Frietz Tambunan, Kompas, 20/7/2004). Kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, di negara sekaya Amerika Serikat pun disparitas ini muncul di permukaan sebagai fenomena neoliberalisme yang amat memprihatinkan (Jonathan Kozol, Savage Inequalities).
Kesenjangan kekuasaan-kewajiban negara
Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945, UU SPN No 20/2003, dan Konvensi Dakkar, pemerintah wajib menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara. Secara rinci, Pasal 49 UU SPN No 20/2003 menyatakan, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)".
Bahwa ternyata anggaran pendidikan-seperti disampaikan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan sidang DPR 15 Agustus 2003-ditetapkan sebesar kurang lebih Rp 15,2 triliun (berarti hanya 4,12% dari anggaran pendapatan negara sebesar Rp 343,9 triliun dan anggaran belanja negara yang sebesar Rp 368,8 triliun), telah terjadi pelanggaran awal oleh pemerintah terhadap UU SPN. Dalam konteks negara yang sedang mengalami krisis multidimensional, keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk dipahami dan diterima. Bahkan, pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan yang ada. Misalnya, swadaya masyarakat dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.
Seyogianya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika negara tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warganya dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus, mulai dari pelaksanaan UAN, penetapan penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UUB, EBTADA, dan sebagainya), sampai dengan sistem penerimaan siswa baru, menunjukkan kewajiban dan layanan publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, masyarakat harus memahami dan menerima keterbatasan itu. Namun, ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah, mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perizinan, dan sebagainya).
Ketidakseimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini mendapat sorotan dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika negara masih beriktikad baik untuk memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik.
Otonomi Daerah
Alokasi minimal 20 persen dari APBN dan APBD yang sudah ditetapkan dalam UU SPN No 20/2003, tetapi tidak dipenuhi di tingkat nasional kemungkinan besar akan sulit terjadi di daerah-daerah. Dalam era otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota mempunyai wewenang untuk menentukan anggaran pendidikan dalam APBD-nya. Kondisi dan kemampuan tiap daerah tentu berbeda. Ada daerah yang mungkin sudah mampu menggratiskan pendidikan dasar (Sesaat setelah terpilih pada 28 Agustus 2003, Wali Kota Malang Drs Peni Suparto meluncurkan pendidikan gratis dari SD sampai SMU, Kompas, 29/8/2003). Sementara daerah lain belum sanggup.
Variasi antardaerah yang amat tinggi akan mengarah kepada kesenjangan pendidikan dan pembangunan manusia di berbagai daerah. Kesenjangan ini selanjutnya akan berpengaruh pada kemajuan masing- masing daerah di kemudian hari. Untuk meminimalkan kesenjangan antardaerah, peran pemerintah pusat masih dibutuhkan. Perlu ada kesepakatan dan penetapan biaya maksimal yang harus dibebankan kepada siswa (terutama untuk sekolah-sekolah negeri).
Kepercayaan publik terhadap aparat
Pemberian subsidi untuk siswa dari keluarga miskin perlu disertai antisipasi terhadap teknis pelaksanaan distribusi dana. Sosialisasi, pendataan, dan distribusi subsidi pendidikan ini harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Berbagai kasus penyelewengan dalam program Jaring Pengaman Sosial dan yang lain, makin mengikis kepercayaan publik terhadap aparat negara (baik eksekutif maupun legislatif). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di berbagai tingkat perlu menyiapkan segala perangkat sosialisasi, pendataan, dan distribusi dengan lebih bertanggung jawab, jujur, dan transparan. Sementara itu, fungsi kontrol yang dilakukan masyarakat baik secara formal lewat Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah maupun lembaga masyarakat nonformal harus lebih digalakkan lagi. Sanksi tegas terhadap penyelewengan yang mungkin muncul harus disiapkan agar good governance tidak hanya menjadi slogan semata.
Pendidikan adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan menuju yang lebih baik. Janji para wakil rakyat yang sudah terpilih untuk dewan mendatang dan capres untuk mengedepankan pendidikan perlu diikuti komitmen dan kejujuran untuk berpikir dan bertindak di atas kepentingan sendiri dan golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di kemudian hari. Masyarakat tentu harus menggunakan hak mereka untuk terus mengontrol pemenuhan janji tersebut.
Anita Lie Pendidik, Tinggal di Surabaya

Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI


Biaya Pendidikan di Indonesia *
Nakoela Soenarta
BIAYA pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang membuat biaya pendidikan terlihat tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat Indonesia.
Di zaman kolonial Belanda, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas. Mereka mendirikan hogeschool agar lulusan dapat membantu mission mereka menjajah rakyat Indonesia dengan mudah karena dapat memanfaatkan tenaga inlanders untuk diangkat sebagai pembantu utamanya.
Meski demikian, pemerintah kolonial akhirnya membuat sekolah juga. Pada mulanya, pemerintah kolonial mendirikan sekolah Nederlands Indische Artsen School di Surabaya. Lalu, didirikan School tot Opleiding voor Indische Artsen di Batavia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta didirikan Algemene Middelbare School (AMS), Middelbare Opleiding School voor Indlandse Amstenaren di Magelang, Middelbare Opleiding School voor Inlandse Bestuur Ambtenaren di Bandung, Middelbare Landbouw School di Bogor dan Ungaran. Juga Veeartsen School di Bogor.
Sekolah-sekolah itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.
Pada zaman kolonial (kalau tidak salah ingat), hanya ada seorang pribumi yang menjadi guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat Direktur Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr Mr Supomo yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah Perang Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.
BAGI kaum inlanders atau pribumi, mereka agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.
Biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.
Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.
Meski biaya sekolah mahal, bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai rapor bagus, kepala sekolah dapat mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke Departement O & E. Biasanya, bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh Direktur MULO atau AMS, Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat mungkin siswa bersangkutan juga diberi beasiswa untuk hidup.
Dari pengalaman pribadi, orangtua saya berhenghasilan 100 gulden sebulan. Dengan penghasilan itu, hampir mustahil orangtua saya bisa mengirimkan keempat anaknya menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan kerja keras, saya dan semua adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, saya dan beberapa ratus teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih miskin, dapat menikmati beasiswa.
PADA tahun 1950, NKRI baru saja menyelesaikan perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih miskin mampu memprogramkan pendidikan bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan penghasilan rakyatnya amat rendah. Kepada mereka yang rajin dan cerdas, sudah seharusnya pemerintah memberikan beasiswa karena pendidikan akademis memang mahal.
Seyogianya industri atau instansi pemerintah menyerahkan tugas penelitiannya kepada universitas sehingga biaya penelitian yang harus dipikul perguruan tinggi dapat dibantu atau bahkan dipikul industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian, biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.
Juga cara perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari yang fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi itu karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah menguji kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi lain. Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor di perguruan tertentu.
Profesor yang mengajar di universitas seyogianya mampu mengembangkan ilmunya melalui riset yang dilakukan para kandidat doktor yang dibimbingnya. Bila ada profesor yang tidak membimbing doktor, maka risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak berkembang. Mereka yang tidak mampu mempromotori doktor jangan diangkat sebagai profesor, cukup lektor kepala saja. Apakah tugas seorang profesor hanya mengajar dari buku yang ditulis rekannya saja?
Seorang profesor harus mau mengembangkan ilmunya dengan cara mempromotori kandidat doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian, perkembangan perguruan tinggi akan menjadi seperti sekolah menengah atas plus. Pada umumnya, perguruan tinggi mengembangkan ilmu yang dikuasai profesornya, maka biaya untuk belajar di perguruan tinggi selalu mahal. Dari perguruan tinggi inilah timbul inovasi dan kreasi yang selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya aman dan nyaman.
Perguruan tinggi yang satu akan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terutama dalam kemajuan ilmu dari hasil risetnya. Mengingat biaya penelitian tidak murah, untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dibutuhkan biaya tidak sedikit. Bila hasil riset dapat langsung diaplikasikan dan dapat dijual ke industri atau instansi terkait, hasil ini secara kumulatif dapat digunakan membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset dapat menumbuhkan multiplier effect.
BIAYA mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara mana pun tetap tinggi dan penghasilan para profesornya pun amat memadai. Dengan demikian, tidak ada profesor yang bekerja di tempat lain (nyambi), kecuali di bidang pendidikan.
Di luar negeri, bila ada seorang direktur industri atau instansi dipanggil untuk menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi, jabatannya akan ditinggalkan. Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih terhormat dan penghasilannya meningkat. Keadaan ini berbeda dengan situasi perguruan tinggi di Indonesia. Bila seorang profesor diminta menjadi direktur salah satu industri atau instansi, jabatan di perguruan tingginya akan ditinggalkan. Karena, penghasilan profesor di perguruan tinggi Indonesia rendah.
Dengan biaya kuliah yang tinggi, perguruan tinggi diharapkan akan menghasilkan riset dan ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak semua pemuda harus kuliah di perguruan tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak cukup baik. Lebih baik mereka masuk akademi yang mengajarkan ilmu terapan, profesi dan kompetensi yang amat dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebetulnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu dari seseorang yang dapat disumbangkan, bukan suatu gelar yang menempel pada namanya, tetapi tidak dapat dimanfaatkan masyarakat. Janganlah membanggakan diri dengan gelar yang dijualbelikan seperti pernah disinyalir Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Semoga masyarakat tidak silau melihat beberapa gelar yang dipajang di sekitar nama seseorang.
Nakoela Soenarta Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di FTUI, ISTN, dan FTUP

Pendidikan Murah? "Ah... Ndobos!"

Diambil dari Koran Kompas (22-10-2005)
ANTI hampir saja tidak bisa mengenyam pendidikan. Pasalnya, untuk masuk SD negeri di dekat rumahnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, orangtuanya harus merogoh kocek. Padahal, sebagai pekerja serabutan, uang sebesar itu bisa dipastikan tidak dimiliki Yanto, ayah Anti. Untung ada penilik sekolah yang berbaik hati mau "menolong". Meski demikian, Yanto tetap harus mengeluarkan uang Rp 500.000. Tak mengherankan bila pagi itu, Yanto kelabakan mencari uang, mengutang ke sana kemari. Buat apa? "Ya buat menyekolahkan Anti," sahut Yanto. Lho, katanya sekolah gratis. Logikanya, untuk masuk sekolah negeri, kalaupun harus membayar, tentu tidak mahal. Artinya, pendidikan sudah murah. "Siapa bilang pendidikan murah? Ah... ndobos!" sergah Yanto yang asal Yogyakarta ini.
LAIN lagi pengalaman Warmin yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu. Karena tak ingin berpisah dengan keluarganya, ia memboyong anak dan istrinya dari Subang ke Jakarta. Dan sesuai dengan pemahamannya, ia menyekolahkan anaknya di sekolah dasar (SD) negeri di kawasan Klender, Jakarta Timur, dengan pikiran sekolah milik pemerintah itu tentu tidak menyedot biaya. "Ternyata banyak juga pengeluaran untuk anak negeri. Buku berganti-ganti. Belum iuran ini dan itu. Akhirnya, ya terasa mahal juga," ujar Warmin.
Ibu Suyati mempunyai pengalaman lain. Sebagai istri seorang pegawai negeri, ibu tiga anak ini benar-benar dibuat pusing dengan harga buku-buku pelajaran yang harus digunakan putri sulungnya. Kalau memesan melalui sekolah atau toko-toko buku terkenal, harganya dirasa agak tinggi. Tanpa berpikir panjang, Ny Suyati segera ke Kompleks Gedung Maya Indah, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Dengan tekun dan tabah, Ny Suyati masuk-keluar toko-toko buku yang menjadi grosir buku-buku pelajaran.
"Harga buku biologi terbitan Erlangga yang di toko buku ternama seharga Rp 65.000, di sini (Senen-Red) harganya sama, tetapi mendapat potongan 25 persen. Lumayan kan? Padahal, untuk keperluan buku pelajaran, semua bisa diperoleh di sini, berikut dengan potongannya. Ya, lebih dari lumayan," tutur Ny Suyati.
Untuk keperluan seragam, banyak orangtua yang terpaksa harus mencari di luar sekolah. Keluarga Widiastuti, misalnya, untuk mencukupi kebutuhan seragam ketiga anaknya, diputuskan untuk belanja di pasar. Disadari benar, harga seragam di sekolah dengan di pasar mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Untuk seragam SD, misalnya, harga satu setel baju putih dan celana merah di sekolah sebesar Rp 70.000. Padahal, masing-masing anak paling tidak harus memiliki dua setel baju seragam. Itu berarti, untuk seragam satu anak harus dikeluarkan Rp 140.000. Sedangkan untuk tiga anak, paling tidak harus keluar Rp Rp 420.000. Belum lagi baju seragam pramuka yang lengkap seharga Rp 150.000. Ditambah lagi, kalau siswa masuk sekolah swasta, biasanya masih ada seragam sekolah, entah berupa baju batik atau lainnya.
"Di pasar, harga baju putih hanya Rp 15.000, sedangkan celana antara Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Memang, kalau membeli seragam di pasar tidak ada badge sekolah. Beli aja badge-nya di sekolah, tinggal jahit sendiri. Ini baru seragam resmi, baju putih dan celana merah atau baju putih dan celana biru. Belum lagi harga buku. Buku- buku bekas kakak-kakak kelasnya tidak lagi bisa dipakai. Paling-paling dijual sebagai kertas kiloan. Meski buku itu dulu dibeli dengan harga Rp 50.000, setelah tahun ajaran baru berlalu, harganya tinggal Rp 750 per kilogram. "Iki sekolah opo?" gumam Ny Widiastuti.
PERGULATAN orangtua untuk menyediakan uang ekstra setiap awal tahun ajaran hampir sudah menjadi pemandangan umum. Maka, tidak mengherankan bila akhir tahun ajaran, kini bukannya ditanggapi dengan kegembiraan lagi, tetapi kebingungan, bahkan frustrasi. Berapa lagi uang yang harus dikeluarkan untuk membeli keperluan sekolah. Keluhan yang umum terjadi adalah selalu digunakannya buku baru. Padahal, harga buku ini setiap tahun bukannya turun, tetapi terus naik.
Untuk pelajar SD, misalnya, paling tidak harus disediakan buku matematika (seharga Rp 25.000), bahasa Indonesia (Rp 15.000), IPA (Rp 15.000), IPS (Rp 15.000). Belum lagi buku-buku yang lain. Paling tidak, untuk keperluan buku-buku pelajaran anak SD diperlukan biaya antara Rp 125.000 hingga Rp 170.000.
Yang lebih menyedihkan adalah masalah "perdagangan" buku ini telah menyeret sekolah menjadi pasar sekaligus pedagang. Sekolah sudah "ikut bermain" dalam memasarkan buku. Maklum, para penerbit yang bukunya digunakan di sekolah akan memberi iming-iming diskon 20 persen-30 persen untuk setiap buku. Bisa dibayangkan, berapa banyak uang diskon yang terkumpul nantinya.
"Anak saya di SD swasta dan termasuk daerah Banten. Ada tujuh buku yang harus dibeli, yaitu Matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan Agama. Harga seluruh buku itu Rp 125.000. Itu untuk anak yang duduk di kelas 1. Meski anak saya tidak naik kelas dan harus mengulang di kelas 1 SD, buku pelajaran pun tetap harus ganti. Anak kedua yang duduk di kelas IV harus membeli delapan buku pelajaran seharga Rp 202.000. Sedangkan untuk anak ketiga yang duduk di kelas VI SD, saya harus mengeluarkan Rp 169.000 untuk buku-buku pelajaran. Pusing Mas, benar-benar pusing kalau memikirkan sekolah sekarang ini," keluh Ny Widiastuti.
Selain membiayai anak-anaknya, Ny Widiastuti juga tergerak untuk membiayai anak pembantunya yang duduk di kelas 1 sekolah menengah pertama (SMP) negeri. Ternyata, biaya yang harus dikeluarkan juga cukup tinggi. Ia mengemukakan, untuk keperluan buku-buku pelajaran, pihaknya harus mengeluarkan Rp 160.000 per semester. Anehnya, meski sudah membayar, buku-buku itu tidak langsung bisa diterima murid. Maka, kalau nanti satu buku pelajaran terdiri dari "jilid" A dan B, siswa-siswi masih berkewajiban membeli "jilid" B.
"Selain harus mengeluarkan uang untuk membeli buku seharga Rp 160.000, saya juga masih harus mengeluarkan uang Rp 270.000. Uang ini sudah mencakup uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan), seragam olahraga, satu set seragam sekolah, baju putih dan celana biru. Tetapi, yang lebih mengagetkan, ternyata untuk masuk SMP negeri itu, orangtua murid masih diminta uang pembangunan Rp 800.000," ungkapnya.
Itu semua baru menyangkut baju seragam dan buku pelajaran. Belum lagi keperluan sepatu dan tas. Untung, harga sepatu anak-anak yang sederhana Rp 50.000-Rp 70.000. Kaus kaki sekitar Rp 10.000. Sedangkan harga tas, juga yang sederhana dan umumnya berbentuk backpack, sekitar Rp 50.000.
Maka, pada hari pertama sekolah, seorang siswa SD yang menggunakan seragam baru, sepatu baru, kaus kaki baru, tas baru yang berisi seluruh buku-buku pelajaran yang masih baru, sama dengan seorang anak "memikul" beban seharga Rp 270.000- Rp 360.000.
"Itulah biaya yang harus dikeluarkan ketika anak baru masuk sekolah. Belum lagi, kalau di swasta, uang sekolah bulanan. Maka, tidak mengherankan bila biaya sekolah sekarang terasa mahal," ungkap Ny Suyati.
Pertanyaannya kini, bagaimana mungkin masyarakat yang berpenghasilan rendah, seperti buruh mencuci, pembantu rumah tangga, buruh kasar di pasar, bisa menyekolahkan anaknya? Padahal, Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan Ayat (2) menyatakan, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Perintah UUD 45 ini diperkuat lagi melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Pasal 5 Ayat (1) UU SPN menyebutkan, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1), Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1), serta Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2). (Lihat Menuntut Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan, hal 39)
Meski ada Amandemen UUD 1945 dan UU SPN, kalau pemerintah tidak ada uang, tetap saja "perintah" kedua undang-undang itu tidak bisa dilaksanakan. Tetap saja pemerintah tidak bisa mengatasi masalah pendidikan yang sudah telanjur kronis. Namun, juga tidak adil bila masyarakat menuntut agar pemerintah berjuang sendirian untuk mengatasi masalah ini.
Mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (Education for All) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, tahun 1990, pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan orangtua. Pengertian masyarakat di sini perlu diperluas, yaitu melibatkan kalangan bisnis. Mereka yang kaya dan masyarakat bisnis yang potensial perlu dilibatkan untuk mengatasi sulitnya mendapatkan dana untuk membangun pendidikan. Salah satu gagasan yang pernah muncul, dulu, adalah adanya pajak pendidikan. Pemerintah pusat maupun daerah perlu mendorong para pengusaha dan orang-orang kaya untuk ikut mengembangkan masyarakat. Sekian persen keuntungan digunakan untuk membantu pemerintah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yaitu pendidikan dan kesehatan. Bila pemerintah dapat "mengajak" peran swasta ikut membiayai pendidikan bisa dibayangkan bahwa sejumlah sekolah yang bagus akan tampak di sekeliling pabrik atau tempat produksi. Tentu saja ini semua harus ada timbal baliknya. Bagi perusahaan yang sudah memberikan sebagian keuntungannya untuk pendidikan dibebaskan dari pajak-pajak yang lain. (Lihat, Pajak Sosial Pendidikan, Mengapa Tidak? hal 40)
BANYAK pihak melihat, mahalnya biaya pendidikan dan kian melangitnya harga buku pelajaran semakin ikut meminggirkan masyarakat kelas bawah. Akses anak-anak mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan, sebagaimana dialami anggota masyarakat yang lain, semakin sulit diwujudkan karena kendala uang.
Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan
Berbagai diskusi dan pembicaraan mengenai hal ini sudah sering dimunculkan. Awal Mei 2004, di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga digelar seminar bertajuk "Menggugat Pendidikan".
Darmaningtyas, penasihat Centre for The Betterment of Education (CBE) yang tampil dalam seminar itu, menuding otonomi pendidikan sebagai biang keladi semakin terbatasnya akses pendidikan bagi masyarakat kelas bawah karena biaya pendidikan justru semakin mahal.
Darmaningtyas menunjukkan kenyataan, sekolah negeri yang seharusnya menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat (termasuk masyarakat bawah) kini justru terbukti menaikkan biaya pendidikan. Akibatnya, akses dan kesempatan masyarakat kelas bawah untuk bisa memperoleh dan menikmati pendidikan semakin terbatas.
"Yang menyedihkan, anak-anak yang bodoh dan yang berasal dari keluarga tak mampu secara ekonomis justru yang paling banyak dirugikan akibat mahalnya biaya pendidikan. Akibat kemiskinannya, mereka terpaksa masuk sekolah yang juga minim fasilitas dan bermutu rendah. Akibatnya bisa diduga, hasil studi mereka pun tak bisa mencuat. Hasil studi yang rendah otomatis akan menjadi tembok penghalang bagi mereka bila ingin masuk ke sekolah favorit.
Keadaan ini memaksa mereka hanya bisa masuk sekolah yang tidak bermutu dengan disiplin rendah. Pada akhirnya, mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan pengetahuan. Begitu seterusnya sehingga pendidikan yang akan dilalui masyarakat kelas bawah terus berputar pada lembaga-lembaga pendidikan yang tidak bermutu. Bisa diduga, hasil pendidikan yang tidak bermutu akan mengarahkan mereka pada pekerjaan rendahan," tutur Darmaningtyas.
Melihat kenyataan ini, sudah selayaknya pemerintah turun tangan dan mencari upaya pemecahannya. Jangan sampai lingkaran kemiskinan pengetahuan terus berputar hanya pada masyarakat kelas bawah. Padahal, seluruh masyarakat selama ini meyakini bahwa sekolah merupakan sarana untuk menggapai kehidupan yang lebih layak.
Jangan sampai, masyarakat telanjur tidak percaya pada pemerintah, yang mempunyai tugas utama menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh warganya. Kalau tidak, jangan salahkan masyarakat bila mengomentari pendidikan kita ndobos alias bohong

Apa yang Salah dengan Negeri Ini?

Djauzak Ahmad
Negara-negara industri maju yang kita saksikan hari ini di Asia tidaklah mempunyai sumber daya alam yang melimpah, negeri-negeri tersebut maju disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
Negara-negara tersebut memulai pembangunan negerinya dengan melaksanakan pendidikan yang baik untuk anak bangsanya, yaitu pendidikan yang terencana, terarah, dan tepat guna. Indonesia seharusnya mulai melaksanakan pembangunan pendidikan pada awal tahun 1950-an, tetapi waktu itu pemimpin-pemimpin negeri ini lupa dengan pembangunan pendidikan. Mereka lebih mementingkan pembangunan politik bahkan menjadikan politik sebagai panglima.
Sampai hari ini pun pendidikan di negeri ini tidak pernah dikelola secara baik. Banyak anak bangsa yang tidak dapat memperoleh pendidikan, putus sekolah, dan banyak pula yang tidak mampu melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Pendidikan menjadi sangat mahal karena banyak biaya yang harus dikeluarkan—mulai dari uang bangunan, pakaian seragam, buku, hingga uang semester ”yang kalau tidak dibayar sudah dapat dipastikan tidak diterima masuk sekolah.
Kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu sudah dapat dipastikan akan menambah beban masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Jika selama ini sudah banyak terjadi putus sekolah karena tidak mampu, sekarang kita akan menyaksikan anak-anak ditarik dari sekolah untuk bekerja membantu mencari nafkah keluarga. Dana bantuan operasional sekolah atau BOS, menurut penulis, tidak akan banyak membantu mengurangi angka drop out (DO), apalagi menghilangkannya. Sebab, pungutan-pungutan atau biaya-biaya yang selama ini dipungut oleh sekolah tidak akan mampu ditutupi oleh dana BOS tersebut.
Sudah 60 tahun negeri ini merdeka, tetapi belum berhasil memenuhi kebutuhan pokok manusia modern, yaitu pendidikan. Padahal, pendidikanlah yang menentukan masa depan suatu bangsa. Berbeda dengan negeri ini, negara-negara tetangga terdekat, seperti Singapura dan Malaysia, sudah menjadi negara maju, jauh meninggalkan kita.
Kita masih belum lupa bahwa negeri ini pada tahun 1970-an mengirim guru-guru terutama guru-guru eksakta mengajar di Malaysia, mengirim dokter dan perawat ke negeri jiran tersebut. Sebaliknya, mereka mengirim siswa dan mahasiswa untuk belajar di Indonesia. Sekarang, kenyataannya menjadi terbalik. Banyak siswa dan mahasiswa kita kini belajar di Malaysia dan banyak sekali orang Indonesia berobat di negara jiran tersebut.
Murid yang telah kita ajar dan didik tersebut kini menjadi orang pandai dan kita kini belajar atau berguru di negeri mantan murid tersebut. Sungguh kejadian atau peristiwa yang memprihatinkan, atau lebih tepat amat memalukan. Apa yang salah yang dilakukan oleh kita dengan negeri yang tercinta ini? Ini merupakan satu pertanyaan sederhana yang sulit dijawab dan dipecahkan.
Faktor guru
Jika sampai tahun 1970-an atau awal 1980-an kualitas pendidikan negeri ini dapat diandalkan, itu disebabkan pengelola pendidikan negeri ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pendidikan. Hal ini disebabkan karena kita masih memiliki pendidik-pendidik atau guru-guru hasil sekolah guru tahun 1950-an dan guru-guru yang dididik pada zaman Hindia Belanda.
Guru-guru pada zaman itu sangat mengetahui apa yang diperlukan untuk anak bangsa negeri ini. Apabila kita mau jujur, guru-guru pada masa itu merupakan guru-guru yang mempunyai komitmen, dedikasi, disiplin yang tinggi. Mereka juga menguasai ilmu yang diajarkan, semangat yang tinggi, dan yang lebih penting menguasai ilmu keguruan.
Secara jujur kita harus mengakui peranan guru sangat menentukan dalam mencerdaskan anak bangsa. Bagaimanapun canggihnya kurikulum, modern nya alat-alat pendidikan, bagusnya gedung, lengkapnya perpustakaan, lengkapnya laboratorium, dan lain-lain semuanya tidak banyak berarti jika manusia yang berdiri di depan kelas atau guru tidak berkualitas. Berbicara mengenai kualitas guru negeri ini rupanya sudah tidak memerhatikan lagi bagaimana guru itu harus dihasilkan.
Aneh, negeri sebesar ini tidak mempunyai lembaga pendidikan guru yang baik. Bahkan, akhirnya kita menyaksikan institut keguruan dan ilmu pendidikan atau IKIP akhirnya juga dibubarkan, dialihkan menjadi universitas umum.
Jika negara-negara lain kian hari makin baik mutu pendidikannya, bahkan menjadikan pendidikan dengan standar internasional, pendidikan negeri ini dijadikan slogan untuk mencapai tujuan tertentu.
Negeri ini sudah mempunyai enam kurikulum. Pada tahun 1950 kita mengenal rencana pelajaran terurai untuk sekolah dasar, kemudian Kurikulum 1968, selanjutnya muncul Kurikulum 1975, kemudian Kurikulum 1984 atau Kurikulum 1975 yang Disempurnakan.
Pada tahun 1994 muncul kurikulum baru lagi, yaitu Kurikulum 1994, dan akhirnya muncul kurikulum terakhir, yaitu Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Akan tetapi, bagaimanapun baik dan canggihnya kurikulum, ia amat bergantung pada kualitas dan kemampuan guru yang melaksanakannya.
Kalau kita perhatikan, mutu bangsa ini sangatlah menyedihkan. Bahkan dari tingkat SD sudah demikian parahnya sehingga pengetahuan umum yang harus dimiliki murid-murid SD taruhlah seperti pengetahuan angka, pecahan, ukuran timbangan dan takaran tak mereka kuasai. Lebih menyedihkan lagi, tamatan universitas pun banyak yang demikian.
Pendidikan di negeri ini memang masih belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Petinggi-petinggi kita selalu berkata bahwa kalau negara nanti mempunyai dana yang cukup, perhatian terhadap pendidikan akan ditingkatkan.
Padahal, untuk membangun bangsa, mencerdaskan bangsa, dan melaksanakan pendidikan tidak ada istilah tak ada dana dan biaya.
Semua biaya seharusnya dipusatkan pada usaha mencerdaskan bangsa. Jika perlu sektor-sektor yang belum mendesak harus diabaikan demi mencerdaskan bangsa.
Bangsa yang abai
Kita sudah terlambat lebih dari setengah abad menangani pendidikan dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia. Hari ini kita masih di atas Kamboja, Laos, dan Myanmar di ASEAN. Juga masih di atas Timor Timur, yang kini menjadi sebuah negara. Kalau kurang hati-hati mendidik bangsa ini, paling lama 10 tahun lagi keempat negara tersebut juga akan meninggalkan kita.
Sebagaimana judul tulisan ini, apa yang salah dengan negeri ini? Jawabnya sederhana: Kita telah lama menelantarkan pendidikan anak bangsa ini. Oleh karena itu, marilah kita mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan kualitas bangsa ini melalui beberapa cara.
Pertama, menjadikan pembangunan pendidikan prioritas teratas dengan perencanaan dan program yang baik melalui jenjang-jenjang sekolah yang menciptakan tenaga kerja siap pakai, dengan kurikulum yang membumi dan didukung guru-guru yang berkualitas dan bertanggung jawab.
Kedua, menciptakan sekolah-sekolah sebagai tempat menimba ilmu dan menghindarkan pelecehan terhadap pendidikan, seperti jual beli ijazah dan gelar, lalu memberikan hukuman setimpal terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Ketiga, mempersiapkan kurikulum yang baik. Isinya memungkinkan peserta didik menjadikan anak bangsa yang berilmu pengetahuan, mampu berkomunikasi dengan dunia luar, bisa menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri dan sekitarnya, serta mau bekerja keras.
Keempat, dalam mengangkat guru-guru baru yang tidak mempunyai latar belakang keguruan, harus sangat hati-hati. Sebaiknya guru-guru yang tidak punya latar belakang keguruan dididik dulu selama sekurang-kurangnya satu tahun. Profesi guru pun harus dijadikan profesi terhormat. Karena tugasnya sebagai pendidik anak bangsa dan pencipta masa depan bangsa, berilah profesi ini gaji yang cukup agar dapat bekerja dengan tenang. Juga harus dibuka kembali sekolah-sekolah guru yang bermutu.
Semua kegiatan tersebut haruslah didukung oleh dana yang cukup dan berkesinambungan. Dengan begitu, dalam tempo selambat-lambatnya 10 tahun, diharapkan bangsa ini dapat mengejar ketertinggalannya.
Djauzak Ahmad Pensiunan Guru dan Mantan Direktur Pendidikan Dasar Depdikbud

Tolak Bila Bersifat Diskriminatif


Jakarta, Kompas(22-10-2005) - Rancangan Undang Undang Guru dan Dosen sebaiknya tidak bersifat diskriminatif terhadap guru-guru swasta, termasuk dalam pemberlakuan ketentuan kesejahteraan guru. Apabila hal-hal yang diskriminatif diberlakukan, lebih baik tidak usah ada UU tentang Guru dan Dosen.
Sikap itu disampikan sejumlah guru dan pengamat pendidikan dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Guru Independen Indonesia (FGII) di Jakarta, Kamis (20/10).
Menurut Ketua Umum FGII Suparman, pemerintah dan DPR tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan tentang begitu banyaknya guru swasta yang memperoleh gaji di bawah standar. Bila gaji guru PNS ditetapkan dua kali gaji pokok PNS nonguru, masih ditambah lagi tunjangan profesional 50 persen dari gaji pokok, akan ada kesenjangan yang amat besar antara kesejahteraan guru negeri dan swasta.
Maka, kata Suparman, RUU Guru tidak boleh membeda-bedakan guru negeri dan swasta. Guru swasta, lanjut Suparman, berhak memperoleh kesejahteraan yang sama dengan guru negeri. Bila lembaga pendidikan swasta bersangkutan tidak mampu menggaji guru sesuai ketentuan, maka pemerintah wajib mensubsidi kekurangan itu. Bila diskriminatif, lebih baik tidak ada UU Guru, kata Suparman.
Koordinator Koalisi Pendidikan Lodi Paat sepakat tidak perlu ada UU Guru dan Dosen bila UU tersebut diskriminatif. Namun, ia mempertanyakan kemampuan pemerintah melaksanakan ketentuan tentang kesejahteraan guru. Sebaiknya pembahasan RUU Guru dibahas cermat dan tidak buru-buru ditetapkan.
Saat ini jumlah guru dan dosen PNS 1,7 juta. Sedang jumlah guru non-PNS diperkirakan 600.000 orang

Thursday, October 20, 2005

Ilmu dan Harta

Oleh H. USEP ROMLI H.M.(Pikiran Rakyat, Jumat 21 Oktober 2005
MANA yang terpenting ilmu atau harta? Para ulama berbagai bidang keahlian, baik fiqih, maupun tasawuf, telah banyak mengemukakan pendapat mengenai mana yang terpenting dimiliki manusia. Ada yang menganggap kedua-duanya sama penting. Karena sama-sama memiliki nilai kegunaan bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Ada yang menempatkan ilmu lebih penting, karena dengan ilmu, harta akan mudah diperoleh. Ada juga yang memilih harta sebagai faktor utama, karena dengan modal harta ilmu juga akan didapat.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, memberi arahan mengenai fungsi dan peran ilmu dan harta. Menurut beliau, ada perbedaan signifikan antara keduanya. Ilmu jika digunakan terus-menerus, justru akan semakin terasah dan bertambah. Sedangkan harta akan habis. Harta memerlukan penjagaan, sedangkan ilmu memberikan penjagaan. Pemilik ilmu jarang kehilangan ilmunya, tapi pemilik harta cukup sering kehilangan hartanya.
Sedangkan Nabi Muhammad saw memberi tekanan kepada faktor manusianya. Hadis riwayat Imam Tirmdizi, menyebutkan, berdasarkan kepemilikan harta dan ilmunya, manusia di dunia ini terdiri dari empat macam.
Pertama, manusia yang mendapat anugerah harta dan ilmu dari Allah SWT. Harta dan ilmunya itu kedua-duanya bermanfaat pula. Harta dan ilmunya digunakan untuk membawa dirinya, keluarganya, dan sesama manusia ke arah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Itulah sebaik-baik derajat manusia (bi afdali manzil) yang dapat dikategorikan sebagai ahli surga (ahlul jannah), karena menjadi pelaku kebaikan dan kebajikan (ahlul khair, berkat harta dan ilmunya itu.
Kedua, manusia yang mendapat anugerah ilmu, tapi sedikit harta. Ini juga beruntung. Sebab dengan ilmunya yang banyak, orang itu dapat membawa dirinya ke arah kebenaran. Dapat membedakan mana halal mana haram. Dapat mengetahui nilai-nilai hak yang harus dibelam dan nilai-nilai batil yang harus dienyahkan. Berkat ilmunya itu, walaupun didukung harta sedikit, ia memiliki peluang besar untuk mencapai derajat kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
Ketiga, manusia yang mendapat harta melimpah, tapi ilmu sedikit. Ada dua kemungkinan di sini. Kemungkinan harta berlimpah itu dimanfaatkan di jalan yang diridai Allah SWT. Tanpa ilmu yang memadai, ia dapat mengelola hartanya bagi kebaikan dan kebajikan dirinya sekeluarga, bagi masyarakat keseluruhan. Tapi ada kemungkinan ia terjebak dalam ketidaktahuan. Hartanya dihambur-hamburkan untuk kemaksiatan, mengumbar hawa nafsu, dan merusak tatanan kehidupan. Termasuk untuk memenuhi ambisi semakin menambah jumlah harta itu dengan cara apa pun. Tak peduli aturan hukum, tak peduli halal-haram. Akibat ketidaktahuannya, segala perbuatan yang ia anggap menguntungkan, akan ditempuh. Bahkan suap sogok , dilakukan secara enteng dan terang-terangan, asal membuat hartanya bertambah banyak, asal dirinya tak tergoyahkan dari limpahan kekayaan. Padahal, perbuatan suap sogok sangat dilarang. La'natullahi alar ra'syi wal murtasyi. Artinya; Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap (Hadis sahih Imam Tirmidzi).
Pengaruh harta yang tak berkah, selalu merasa kurang dan selalu takut kekurangan. Maka berbagai upaya dicoba agar hartanya terus-menerus bertambah. Biar harus korupsi sekalipun. Ilmu untuk menuju kebenaran hidup dan mencapai rida Allah SWT memang ia tak punya. Tapi ilmu korupsi, mengeruk kekayaan bangsa dan negara demi kepentingan pribadi, punya bergudang-gudang. Ia punya kiat, biarlah korupsi, toh sebagian disisihkan untuk kepentingan orang banyak juga. Dipakai menyumbang lembaga pendidikan, menghajikan orang, memberdayakan kaum miskin, dan sebagainya. Ia menganggap dengan cara itu, dosa korupsinya akan terhapus. Apalagi ia sendiri tekun melaksanakan ibadah ritual. Tak pernah meninggalkan salat, rajin mengeluarkan zakat, infak, sedekah, getol puasa sunat dan wajib, pergi haji berkali-kali. Padahal segala kebaikan dan kebajikan yang disertai perbuatan haram, baik modal maupun penerapannya, tidak mengandung nilai sama sekali. Sabda Rasulullah saw, La yuqbalullahu shalatan bi ghairi thuhurin, wa la shadaqatun min ghululi. Allah tidak menerima salat tanpa wudu, dan bukanlah sedekah jika hartanya diperoleh dari hasil korupsi (Hadis sahih Muslim).
Tegasnya, sebesar apa pun sedekah (juga infak, zakat, jariyah wakaf) seseorang, tak diterima, tak bernilai apa-apa di sisi Allah, jika harta yang disedekahkan itu merupakan hasil korupsi. Persis seperti salat tanpa wudu. Ditolak karena badan masih kotor.
Keempat, manusia tak diberi ilmu juga tak diberi harta. Betul-betul hampa. Karena tak punya ilmu, tak sedikit pun terbersit keinginan untuk bertanya tentang norma kehidupan yang baik dan benar. Acuh tak acuh saja. Bahkan mengumbar hawa nafsu seenak perut. Tapi tuntutan kebutuhan akan harta, tumbuh secara naluriah. Sehingga, ia mengutamakan tuntutan naluriah tersebut tanpa bimbingan pengetahuan sedikit pun. Kemungkinan besar ia akan terjerumus ke dalam kesesatan. Termasuk kelompok orang sesat dan menyesatkan. Apalagi jika ketiadaan ilmu dan harta itu dimanfaatkan untuk hal-hal yang membahayakan tatanan kehidupan. Menjadi raja tega, pembunuh bayaran, dan lain sebagainya, akibat desakan naluriah memburu harta untuk kesenangan hidup. Sedangkan desakan naluriah untuk memperoleh ilmu yang akan membawanya ke jalan lurus, tak pernah muncul sama sekali. Sehingga ia terperangkap gaya hidup yang rusak sepanjang hayat.
Semoga kita termasuk ke dalam kelompok yang memiliki ilmu dan harta yang bermanfaat, memiliki kesehatan yang prima dan terbebas dari siksa api neraka. Allahuma inna nas'aluka ilman nafi'an, wa rizqan wasi'an wa sifa'an min kulli da'n wa saqamin wa ajirna minan nari

Wednesday, October 19, 2005

Ujian Nasional 2005/06 Akan Libatkan Pengawas Independen

Badan Standar Pendidikan Nasional (BSNP) akan melibatkan tenaga pengawas independen dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN) tahun 2005/2006.
Hal itu untuk meningkatkan kredibilitas dan obyektivitas ujian nasional baik di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
"Berdasarkan rekomendasi BSNP pemerintah melalui Depdiknas telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 20 tahun 2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 yang mengatur tentang Ujian Nasional SMP/ Mts, SPMLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK/MAK," kata Ketua BSNP, Bambang Suhendro dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, pengawas pada pelaksanaan ujian nasional nanti tidak lagi dilakukan oleh para guru atau tenaga dari lingkungan sekolah dan dinas pendidikan tetapi dipilih tenaga pengawas dari masyarakat, komite sekolah dan perguruan tinggi.
BSNP merupakan badan independen yang dibentuk untuk menjawab tuntutan masyarakat dan legislatif akan perlunya lembaga independen dalam melaksanakan penilaian penyelenggaraan pendidikan, salah satunya melalui penyelenggaraan ujian nasional (UN).
Keanggotaan BSNP terdiri atas para pakar pendidikan dan komunitas perguruan tinggi yang kedudukannya sebagai mitra pemerintah.
Bambang yang dalam penjelasannya didampingi Kepala Balitbang Depdiknas Mansyur Ramly, Ketua Pelaksana Ujian nasional (UN) BSNP Djamari Mardapi dan Juru Bicara Depdiknas Teguh Juwarno.
Lebih lanjut ia mengatakan Peraturan Mendiknas nomor 20 tahun 2005 tersebut menetapkan pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ajaran 2005/2006 ini hanya sekali dan tidak dipungut biaya.
Sementara itu, Kepala Balitbang Depdiknas, Masnyur Ramly mengatakan, biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan UN 2006 diperkirakan mencapai Rp280 miliar.
Jumlah peserta pada UN tahun 2006 diperkirakan mencapai 5.000.000 siswa SMP/Mts, SMA, MA dan SMK seluruh Indonesia dan wajib diikuti semua sekolah, baik swasta, negeri, kelas internasional atau sekolah percobaan, katanya.
"Biaya penyelenggaraan UN semuanya ditanggung pemerintah pusat dan daerah dan biaya UN untuk tiap siswa rata-rata sebesar
Rp42 ribu. Sekolah tidak dibenarkan memungut biaya UN, jika ketahuan memungut akan dikenakan sanksi," kata Ketua BSNP Bambang Suhendro.
Soal-soal ujian pada UN 2006 akan mengacu pada kurikulum 1994 dan kurikulum 2004. Di samping itu untuk meraih standar kompetensi kelulusan siswa, BSNP telah melakukan evaluasi dan mencari masukan ke daerah-daerah
untuk penyusunan soal ujian yang bisa mengakomodir soal-soal dari daerah untuk disumbangkan menjadi bahan nasional, katanya.
Dengan demikian diharapkan soal-soal ujian bervariasi dan tidak hanya disusun oleh guru-guru yang berada di pusat saja tetapi diperkaya soal-soal dari daerah, namun tetap disesuaikan dengan pilihan kurikulum yang digunakan oleh tiap-tiap sekolah, katanya.
Mata pelajaran yang diujikan secara nasional Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika, kriteria kelulusan nilai harus 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan rata-rata nilai ujian nasional lebih
dari 4,50, katanya.
Berdasarkan hasil pemantauan, survei dan masukan dari berbagai pihak dalam permendiknas ini telah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan pada ketentuan UN tahun pelajaran 2005/2006, di antaranya UN dilaksanakan satu kali, jika tidak lulus satu mata pelajaran dinyatakan tetap tidak lulus dan diwajibkan mengulang tahun depan.
UN 2006 dilaksanakan pada pekan ketiga bulan Mei 2006 untuk ujian utama dan pekan keempat untuk ujian susulan, ketentuan siswa yang mengikuti ujian susulan adalah mereka yang memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, misalnya sakit dengan surat keterangan resmi dari dokter, terkena musibah dan sebagainya.
Depdiknas dan BSNP akan segera melakukan sosialisasi tentang kebijakan UN tahun pelajaran 2005/2006 kepada pihak terkait agar memberikan waktu yang cukup bagi semua pihak untuk mempersiapkannya, tambahnya.