Parman

Guru Fisika SMA Negeri 12 Bandung Jl Sekejati IV No. 36 Kiaracondong Bandung 40286 Email : Suparman_fisika@yahoo.co.id

Friday, October 21, 2005

Pajak Sosial Pendidikan, Mengapa Tidak?


Frietz R Tambunan (Kompas, 5-8-2005)
TÖGIZITA adalah sebuah desa berpenduduk 2.000 jiwa di pedalaman Nias (Sumatera Utara). Jaraknya dari Gunung Sitoli hanya 59 km, tetapi dibutuhkan lima jam dengan kendaraan untuk mencapainya. Desa yang diapit Sungai Oyo dan Siwalawa (masing-masing lebarnya 50-80 meter dan tanpa jembatan) mempunyai tiga sekolah dasar dengan 700 murid, satu SMP, dan satu SMA persiapan yang baru dibuka tahun ini. Selain dari Tögizita, siswa datang dari desa-desa kecil di seberang kedua sungai yang mengapit Tögizita.
MESKI jumlah murid tercatat hanya sekitar 700 orang, yang hadir di sekolah setiap hari bisa hanya setengahnya. Penyebabnya bervariasi: hujan, hari mbale (pekan), atau pesta kawin. Jika hujan turun-dan itu bisa seminggu-penduduk tidak bisa mengambil havea (getah karet) dengan konsekuensi uang tidak ada sehingga anak-anak tak bisa pergi ke sekolah. Di musim hujan, Sungai Oyo dan Siwalawa akan meluap dua kali seminggu dan semua anak sekolah yang berasal dari luar Tögizita tidak bisa ke sekolah karena tak ada jembatan.
Kebanyakan anak-anak sekolah dasar (SD) mengalami drop-out karena orangtua lebih suka anak-anak mereka bekerja mengumpulkan getah karet. Akses ke sekolah menengah pertama amat kecil, terutama bagi perempuan karena tuntutan adat: anak perempuan yang sudah remaja (usia masuk SD rata-rata 8-10 tahun!) dilarang berjalan bersama dengan anak lelaki sebaya sepulang sekolah karena harus melewati hutan dan hari sudah gelap. Sebagian anak-anak yang tak bisa sekolah akan merantau ke daratan Sumatera, seperti Sibolga, Padang, dan Pekanbaru, dan menjadi "pekerja anak" di perkebunan kelapa sawit atau pencuci piring di warung.
Ini adalah potret buram kondisi pendidikan dasar kita sekaligus mengungkapkan, Wajib Belajar Sembilan Tahun yang dideklarasikan tahun 1994 sepertinya hanya terjadi di atas kertas. Potret Tögizita adalah secuil kenyataan yang membenarkan temuan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) 2004 bahwa mutu manusia Indonesia tergolong rendah. Meski masih lebih bersifat "data dan angka" sehingga kurang mencerminkan realitas yang lebih mendalam, LPMI 2004 mendesak pemerintah dan masyarakat memberikan prioritas investasi lebih tinggi pada upaya pembangunan manusia, terutama lewat pendidikan dan kesehatan.
STRATEGI pembangunan Indonesia bergerak sejalan minat politik rezim sezaman. Bagi Soekarno, politics is the king dan ia rajin mengubrak-abrik kabinet. Soeharto percaya, economic is the king (ekonomi adalah panglima) dan di kota-kota besar Indonesia muncul gedung-gedung bertingkat, perumahan eksklusif, mal-mal keren, jalan tol dan jalan layang, serta berbagai fasilitas trendi yang memanjakan pemilik modal.
Semula, rezim Orde Baru amat yakin akan terjadi mukjizat trickle down effects yang akan meneteskan hasil pembangunan kepada rakyat miskin. Kejayaan politik dan ekonomi ternyata tak langgeng karena modal utama pembangunan, yaitu manusia, terabaikan. Kondisi itu berlanjut hingga kini karena bangsa kita kurang memiliki modal manusiawi berkualitas yang diperlukan guna menopang pertumbuhan dan kemajuan ekonomi. Sepertinya pemerintah selama ini tetap tak sadar akan fungsi ekonomis pendidikan sehingga, seperti dikatakan M Chatib Basri, akses terhadap pendidikan dan kesehatan amat buruk dan ini membuat sepertiga atau separuh penduduk Indonesia masih rentan terhadap masalah kemiskinan (Kompas, 24/7/2004).
Teori pembangunan di masa lampau menganut prinsip, kemiskinan terjadi karena kurangnya kesanggupan untuk menabung dan membangun modal fisik. Theodore W Schultz lalu mengembangkan prinsip modal manusiawi yang dalam penelitiannya bisa membuktikan bahwa "mutu" penduduk, yaitu kemampuan fisik maupun psikis-intelektual, lebih penting bagi proses pembangunan daripada modal fisik. Bertolak dari pandangan ini, negara-negara maju berinisiatif mendahulukan penanaman modal pada manusia di bidang kesehatan dan pendidikan. Pandangan ini dipertegas Amartya Sen (pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998) dalam buku Inequality Reexamined (1992) yang menekankan pentingnya kesempatan (entitlement) karena penyediaan lembaga pendidikan dan sekolah saja tidak cukup jika tidak sekaligus diciptakan kerangka institusional, yang mendukung orang yang paling miskin bisa masuk ke lembaga itu dan memanfaatkannya untuk memerangi kemiskinan.
Sejak tahun 1990, Bank Dunia lewat Annual World Development Report-nya menekankan urgensi "pembangunan manusia". Hal yang sama ditekankan lagi dalam Human Development Report yang tiap tahun diterbitkan UNDP dan memuat Human Development Index yang menggarisbawahi perkembangan dan penggunaan kemampuan-kemampuan manusiawi sebagai saka guru pembangunan. Maka, perlu penanaman modal pada manusia dalam bidang pendidikan sebagai prasyarat untuk memberdayakan orang agar berjaya memerangi kemiskinan. Hal yang sama ditegaskan lagi dalam "Inisiatif 20:20" di Kopenhagen tahun 1995, yang mewajibkan semua negara kaya dan berkembang memakai 20 persen dari bantuan pembangunan atau anggaran belanja negara bagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
Di awal tahun 1972, ketika program lifelong education sedang disosialisasikan UNESCO, kesadaran akan pembangunan manusia ini sudah disuarakan Edgar Faure, Ketua The International Commission for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan adalah tugas negara yang paling penting!
SUDAH 10 tahun Wajib Belajar Sembilan Tahun dilaksanakan di Indonesia. Salah satu alasan dari pelaksanaan wajib belajar adalah karena lebih dari 80 persen tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SD, tidak tamat SD, dan sebagian buta huruf sehingga jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, pendidikan tenaga kerja di Indonesia jauh lebih rendah. Namun, melihat rendahnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan, ada kesan pemerintah sepertinya belum terpikat menjadikan proyek pembangunan manusia sebagai proyek prioritas. Sesuai dengan rekomendasi LPMI 2004, anggaran yang harus disediakan pemerintah untuk memenuhi hak dasar (pangan, kesehatan, pendidikan dasar, dan keamanan) rakyat setiap tahunnya minimal 6 persen dari produk domestik bruto, sedangkan di Indonesia hanya 3 persen. Untuk tahun 2004, pengeluaran tahunan untuk pendidikan di Indonesia sebesar Rp 33,0 triliun, sedangkan yang dibutuhkan Rp 58,0 triliun.
Kurangnya uang untuk pendidikan berakibat langsung pada kecilnya akses ke pendidikan dasar. Selain itu, sarana pendidikan, seperti gedung dan peralatan pembelajaran, tak dapat dirawat dan diperbaharui, pengadaan tenaga pengajar yang profesional seret, dan penghargaan terhadap guru tetap rendah. Di pedesaan dan daerah terpencil ada banyak SD dengan hanya satu guru, dan bukan rahasia lagi sejumlah guru negeri di pedalaman jarang muncul di sekolah karena nyambi bekerja di kota atau menjadi pedagang di tempat lain. Dengan kondisi ini, sebagian besar anak bangsa di desa tetap bodoh dan akan tetap miskin.
Apa yang harus kita buat? Kita yakin, pemerintah tidak akan sanggup mengatasi masalah pendidikan yang kronis dan tidak adil jika masyarakat membiarkan pemerintah berjuang sendiri. Konsep pendidikan untuk semua (education for all) menekankan, pendidikan adalah tanggung jawab semua: pemerintah, masyarakat, orangtua, dan kalangan bisnis.
Selama ini lembaga-lembaga sosial-keagamaan sudah cukup terlibat dalam membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan. Yang masih kurang dioptimalkan adalah peran kalangan bisnis dan orang-orang kaya yang amat potensial membantu pemerintah dan masyarakat dalam menyediakan dana pendidikan lewat semacam pajak sosial. Pemerintah (pusat maupun daerah) perlu mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan sejenis program community development (pengembangan masyarakat), di mana perusahaan memberi hibah sekian persen dari keuntungannya untuk dipakai masyarakat memenuhi kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.
Kalangan bisnis dan orang- orang kaya perlu lebih didorong dan disadarkan melaksanakan tanggung jawab sosial mereka dengan cara melakukan investasi kemanusiaan lewat pendidikan. Jika pemerintah daerah dapat memanfaatkan potensi tidur perusahaan-perusahaan menengah dan besar, kita yakin di sekitar pabrik dan perusahaan besar akan berdiri sekolah-sekolah yang representatif dengan gedung yang elok, peralatan pembelajaran yang memadai, dan guru-guru yang bersemangat mengajar karena dibayar dengan pantas. Janganlah seperti sekarang, persis di dekat pabrik besar yang menghasilkan keuntungan ratusan miliar rupiah berdiri sekolah anak bangsa yang reyot dan berdinding tepas!
"The wealth of a nation lies in its people," tulis David Warwick dalam buku The Wealth of a Nation. Indonesia, yang mempunyai penduduk lebih dari 250 juta jiwa ditambah kelimpahan sumber daya alam yang tak terukur, adalah sebuah kekayaan yang sedang terabaikan dan kita menjadi miskin karena kebodohan. Kemiskinan membuat anak-anak kita tidak cerdas sebagai akibat kurangnya sekolah yang baik. Kita mempunyai pemerintah yang cuek bebek pada pembangunan manusia dan sibuk memikirkan kontinuitas kekuasaan. Kita amat membutuhkan sebuah pemerintah yang bermoral, yang antikemiskinan dan KKN, yang berempati kepada rakyat yang didera kemiskinan karena kurang pendidikan. Kita memerlukan orang-orang kaya yang tidak hanya cekatan membangun plaza yang mewah di kota-kota besar, tetapi juga cekatan membangun sekolah yang baik di desa-desa. Kita membutuhkan perusahaan-perusahaan yang selain rela menyetor pajak ke kas negara, juga terpanggil menyisihkan sedikit keuntungannya untuk membangun sekolah dan memberi beasiswa bukan saja bagi mahasiswa di perguruan tinggi, tetapi juga bagi anak-anak desa yang miskin agar dapat menikmati hak mereka atas pendidikan. Kita membutuhkan para pengusaha dan lembaga-lembaga keagamaan yang tidak hanya mau membangun sekolah-sekolah internasional dengan uang sekolah puluhan juta rupiah per tahun di kota-kota, tetapi juga mau membuka sekolah bermutu di desa-desa terpencil.
Sebenarnya, bangsa ini tidak miskin harta. Kemiskinan kita terutama kemiskinan hati: tak mau berbagi dan egois. Efeknya adalah tak cukup uang untuk pendidikan sehingga anak- anak bangsa ini menjadi bodoh dan karena bodoh menjadi miskin.
Semoga presiden baru nanti mempunyai hati dan empati terhadap orang-orang desa, miskin, dan berani menerapkan pajak sosial terhadap perusahaan- perusahaan besar dan orang- orang kaya agar kita memiliki uang untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Hanya orang cerdaslah yang bisa melindas kemiskinan!
Frietz R Tambunan Alumnus Salesian University of Rome Bidang Manajemen Pendidikan; Pengajar pada Unika St Thomas, Medan

0 Comments:

Post a Comment

<< Home