Apa yang Salah dengan Negeri Ini?
Djauzak Ahmad
Negara-negara industri maju yang kita saksikan hari ini di Asia tidaklah mempunyai sumber daya alam yang melimpah, negeri-negeri tersebut maju disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
Negara-negara tersebut memulai pembangunan negerinya dengan melaksanakan pendidikan yang baik untuk anak bangsanya, yaitu pendidikan yang terencana, terarah, dan tepat guna. Indonesia seharusnya mulai melaksanakan pembangunan pendidikan pada awal tahun 1950-an, tetapi waktu itu pemimpin-pemimpin negeri ini lupa dengan pembangunan pendidikan. Mereka lebih mementingkan pembangunan politik bahkan menjadikan politik sebagai panglima.
Sampai hari ini pun pendidikan di negeri ini tidak pernah dikelola secara baik. Banyak anak bangsa yang tidak dapat memperoleh pendidikan, putus sekolah, dan banyak pula yang tidak mampu melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Pendidikan menjadi sangat mahal karena banyak biaya yang harus dikeluarkan—mulai dari uang bangunan, pakaian seragam, buku, hingga uang semester ”yang kalau tidak dibayar sudah dapat dipastikan tidak diterima masuk sekolah.
Kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu sudah dapat dipastikan akan menambah beban masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Jika selama ini sudah banyak terjadi putus sekolah karena tidak mampu, sekarang kita akan menyaksikan anak-anak ditarik dari sekolah untuk bekerja membantu mencari nafkah keluarga. Dana bantuan operasional sekolah atau BOS, menurut penulis, tidak akan banyak membantu mengurangi angka drop out (DO), apalagi menghilangkannya. Sebab, pungutan-pungutan atau biaya-biaya yang selama ini dipungut oleh sekolah tidak akan mampu ditutupi oleh dana BOS tersebut.
Sudah 60 tahun negeri ini merdeka, tetapi belum berhasil memenuhi kebutuhan pokok manusia modern, yaitu pendidikan. Padahal, pendidikanlah yang menentukan masa depan suatu bangsa. Berbeda dengan negeri ini, negara-negara tetangga terdekat, seperti Singapura dan Malaysia, sudah menjadi negara maju, jauh meninggalkan kita.
Kita masih belum lupa bahwa negeri ini pada tahun 1970-an mengirim guru-guru terutama guru-guru eksakta mengajar di Malaysia, mengirim dokter dan perawat ke negeri jiran tersebut. Sebaliknya, mereka mengirim siswa dan mahasiswa untuk belajar di Indonesia. Sekarang, kenyataannya menjadi terbalik. Banyak siswa dan mahasiswa kita kini belajar di Malaysia dan banyak sekali orang Indonesia berobat di negara jiran tersebut.
Murid yang telah kita ajar dan didik tersebut kini menjadi orang pandai dan kita kini belajar atau berguru di negeri mantan murid tersebut. Sungguh kejadian atau peristiwa yang memprihatinkan, atau lebih tepat amat memalukan. Apa yang salah yang dilakukan oleh kita dengan negeri yang tercinta ini? Ini merupakan satu pertanyaan sederhana yang sulit dijawab dan dipecahkan.
Faktor guru
Jika sampai tahun 1970-an atau awal 1980-an kualitas pendidikan negeri ini dapat diandalkan, itu disebabkan pengelola pendidikan negeri ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pendidikan. Hal ini disebabkan karena kita masih memiliki pendidik-pendidik atau guru-guru hasil sekolah guru tahun 1950-an dan guru-guru yang dididik pada zaman Hindia Belanda.
Guru-guru pada zaman itu sangat mengetahui apa yang diperlukan untuk anak bangsa negeri ini. Apabila kita mau jujur, guru-guru pada masa itu merupakan guru-guru yang mempunyai komitmen, dedikasi, disiplin yang tinggi. Mereka juga menguasai ilmu yang diajarkan, semangat yang tinggi, dan yang lebih penting menguasai ilmu keguruan.
Secara jujur kita harus mengakui peranan guru sangat menentukan dalam mencerdaskan anak bangsa. Bagaimanapun canggihnya kurikulum, modern nya alat-alat pendidikan, bagusnya gedung, lengkapnya perpustakaan, lengkapnya laboratorium, dan lain-lain semuanya tidak banyak berarti jika manusia yang berdiri di depan kelas atau guru tidak berkualitas. Berbicara mengenai kualitas guru negeri ini rupanya sudah tidak memerhatikan lagi bagaimana guru itu harus dihasilkan.
Aneh, negeri sebesar ini tidak mempunyai lembaga pendidikan guru yang baik. Bahkan, akhirnya kita menyaksikan institut keguruan dan ilmu pendidikan atau IKIP akhirnya juga dibubarkan, dialihkan menjadi universitas umum.
Jika negara-negara lain kian hari makin baik mutu pendidikannya, bahkan menjadikan pendidikan dengan standar internasional, pendidikan negeri ini dijadikan slogan untuk mencapai tujuan tertentu.
Negeri ini sudah mempunyai enam kurikulum. Pada tahun 1950 kita mengenal rencana pelajaran terurai untuk sekolah dasar, kemudian Kurikulum 1968, selanjutnya muncul Kurikulum 1975, kemudian Kurikulum 1984 atau Kurikulum 1975 yang Disempurnakan.
Pada tahun 1994 muncul kurikulum baru lagi, yaitu Kurikulum 1994, dan akhirnya muncul kurikulum terakhir, yaitu Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Akan tetapi, bagaimanapun baik dan canggihnya kurikulum, ia amat bergantung pada kualitas dan kemampuan guru yang melaksanakannya.
Kalau kita perhatikan, mutu bangsa ini sangatlah menyedihkan. Bahkan dari tingkat SD sudah demikian parahnya sehingga pengetahuan umum yang harus dimiliki murid-murid SD taruhlah seperti pengetahuan angka, pecahan, ukuran timbangan dan takaran tak mereka kuasai. Lebih menyedihkan lagi, tamatan universitas pun banyak yang demikian.
Pendidikan di negeri ini memang masih belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Petinggi-petinggi kita selalu berkata bahwa kalau negara nanti mempunyai dana yang cukup, perhatian terhadap pendidikan akan ditingkatkan.
Padahal, untuk membangun bangsa, mencerdaskan bangsa, dan melaksanakan pendidikan tidak ada istilah tak ada dana dan biaya.
Semua biaya seharusnya dipusatkan pada usaha mencerdaskan bangsa. Jika perlu sektor-sektor yang belum mendesak harus diabaikan demi mencerdaskan bangsa.
Bangsa yang abai
Kita sudah terlambat lebih dari setengah abad menangani pendidikan dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia. Hari ini kita masih di atas Kamboja, Laos, dan Myanmar di ASEAN. Juga masih di atas Timor Timur, yang kini menjadi sebuah negara. Kalau kurang hati-hati mendidik bangsa ini, paling lama 10 tahun lagi keempat negara tersebut juga akan meninggalkan kita.
Sebagaimana judul tulisan ini, apa yang salah dengan negeri ini? Jawabnya sederhana: Kita telah lama menelantarkan pendidikan anak bangsa ini. Oleh karena itu, marilah kita mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan kualitas bangsa ini melalui beberapa cara.
Pertama, menjadikan pembangunan pendidikan prioritas teratas dengan perencanaan dan program yang baik melalui jenjang-jenjang sekolah yang menciptakan tenaga kerja siap pakai, dengan kurikulum yang membumi dan didukung guru-guru yang berkualitas dan bertanggung jawab.
Kedua, menciptakan sekolah-sekolah sebagai tempat menimba ilmu dan menghindarkan pelecehan terhadap pendidikan, seperti jual beli ijazah dan gelar, lalu memberikan hukuman setimpal terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Ketiga, mempersiapkan kurikulum yang baik. Isinya memungkinkan peserta didik menjadikan anak bangsa yang berilmu pengetahuan, mampu berkomunikasi dengan dunia luar, bisa menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri dan sekitarnya, serta mau bekerja keras.
Keempat, dalam mengangkat guru-guru baru yang tidak mempunyai latar belakang keguruan, harus sangat hati-hati. Sebaiknya guru-guru yang tidak punya latar belakang keguruan dididik dulu selama sekurang-kurangnya satu tahun. Profesi guru pun harus dijadikan profesi terhormat. Karena tugasnya sebagai pendidik anak bangsa dan pencipta masa depan bangsa, berilah profesi ini gaji yang cukup agar dapat bekerja dengan tenang. Juga harus dibuka kembali sekolah-sekolah guru yang bermutu.
Semua kegiatan tersebut haruslah didukung oleh dana yang cukup dan berkesinambungan. Dengan begitu, dalam tempo selambat-lambatnya 10 tahun, diharapkan bangsa ini dapat mengejar ketertinggalannya.
Djauzak Ahmad Pensiunan Guru dan Mantan Direktur Pendidikan Dasar Depdikbud
Negara-negara industri maju yang kita saksikan hari ini di Asia tidaklah mempunyai sumber daya alam yang melimpah, negeri-negeri tersebut maju disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
Negara-negara tersebut memulai pembangunan negerinya dengan melaksanakan pendidikan yang baik untuk anak bangsanya, yaitu pendidikan yang terencana, terarah, dan tepat guna. Indonesia seharusnya mulai melaksanakan pembangunan pendidikan pada awal tahun 1950-an, tetapi waktu itu pemimpin-pemimpin negeri ini lupa dengan pembangunan pendidikan. Mereka lebih mementingkan pembangunan politik bahkan menjadikan politik sebagai panglima.
Sampai hari ini pun pendidikan di negeri ini tidak pernah dikelola secara baik. Banyak anak bangsa yang tidak dapat memperoleh pendidikan, putus sekolah, dan banyak pula yang tidak mampu melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Pendidikan menjadi sangat mahal karena banyak biaya yang harus dikeluarkan—mulai dari uang bangunan, pakaian seragam, buku, hingga uang semester ”yang kalau tidak dibayar sudah dapat dipastikan tidak diterima masuk sekolah.
Kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu sudah dapat dipastikan akan menambah beban masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Jika selama ini sudah banyak terjadi putus sekolah karena tidak mampu, sekarang kita akan menyaksikan anak-anak ditarik dari sekolah untuk bekerja membantu mencari nafkah keluarga. Dana bantuan operasional sekolah atau BOS, menurut penulis, tidak akan banyak membantu mengurangi angka drop out (DO), apalagi menghilangkannya. Sebab, pungutan-pungutan atau biaya-biaya yang selama ini dipungut oleh sekolah tidak akan mampu ditutupi oleh dana BOS tersebut.
Sudah 60 tahun negeri ini merdeka, tetapi belum berhasil memenuhi kebutuhan pokok manusia modern, yaitu pendidikan. Padahal, pendidikanlah yang menentukan masa depan suatu bangsa. Berbeda dengan negeri ini, negara-negara tetangga terdekat, seperti Singapura dan Malaysia, sudah menjadi negara maju, jauh meninggalkan kita.
Kita masih belum lupa bahwa negeri ini pada tahun 1970-an mengirim guru-guru terutama guru-guru eksakta mengajar di Malaysia, mengirim dokter dan perawat ke negeri jiran tersebut. Sebaliknya, mereka mengirim siswa dan mahasiswa untuk belajar di Indonesia. Sekarang, kenyataannya menjadi terbalik. Banyak siswa dan mahasiswa kita kini belajar di Malaysia dan banyak sekali orang Indonesia berobat di negara jiran tersebut.
Murid yang telah kita ajar dan didik tersebut kini menjadi orang pandai dan kita kini belajar atau berguru di negeri mantan murid tersebut. Sungguh kejadian atau peristiwa yang memprihatinkan, atau lebih tepat amat memalukan. Apa yang salah yang dilakukan oleh kita dengan negeri yang tercinta ini? Ini merupakan satu pertanyaan sederhana yang sulit dijawab dan dipecahkan.
Faktor guru
Jika sampai tahun 1970-an atau awal 1980-an kualitas pendidikan negeri ini dapat diandalkan, itu disebabkan pengelola pendidikan negeri ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pendidikan. Hal ini disebabkan karena kita masih memiliki pendidik-pendidik atau guru-guru hasil sekolah guru tahun 1950-an dan guru-guru yang dididik pada zaman Hindia Belanda.
Guru-guru pada zaman itu sangat mengetahui apa yang diperlukan untuk anak bangsa negeri ini. Apabila kita mau jujur, guru-guru pada masa itu merupakan guru-guru yang mempunyai komitmen, dedikasi, disiplin yang tinggi. Mereka juga menguasai ilmu yang diajarkan, semangat yang tinggi, dan yang lebih penting menguasai ilmu keguruan.
Secara jujur kita harus mengakui peranan guru sangat menentukan dalam mencerdaskan anak bangsa. Bagaimanapun canggihnya kurikulum, modern nya alat-alat pendidikan, bagusnya gedung, lengkapnya perpustakaan, lengkapnya laboratorium, dan lain-lain semuanya tidak banyak berarti jika manusia yang berdiri di depan kelas atau guru tidak berkualitas. Berbicara mengenai kualitas guru negeri ini rupanya sudah tidak memerhatikan lagi bagaimana guru itu harus dihasilkan.
Aneh, negeri sebesar ini tidak mempunyai lembaga pendidikan guru yang baik. Bahkan, akhirnya kita menyaksikan institut keguruan dan ilmu pendidikan atau IKIP akhirnya juga dibubarkan, dialihkan menjadi universitas umum.
Jika negara-negara lain kian hari makin baik mutu pendidikannya, bahkan menjadikan pendidikan dengan standar internasional, pendidikan negeri ini dijadikan slogan untuk mencapai tujuan tertentu.
Negeri ini sudah mempunyai enam kurikulum. Pada tahun 1950 kita mengenal rencana pelajaran terurai untuk sekolah dasar, kemudian Kurikulum 1968, selanjutnya muncul Kurikulum 1975, kemudian Kurikulum 1984 atau Kurikulum 1975 yang Disempurnakan.
Pada tahun 1994 muncul kurikulum baru lagi, yaitu Kurikulum 1994, dan akhirnya muncul kurikulum terakhir, yaitu Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Akan tetapi, bagaimanapun baik dan canggihnya kurikulum, ia amat bergantung pada kualitas dan kemampuan guru yang melaksanakannya.
Kalau kita perhatikan, mutu bangsa ini sangatlah menyedihkan. Bahkan dari tingkat SD sudah demikian parahnya sehingga pengetahuan umum yang harus dimiliki murid-murid SD taruhlah seperti pengetahuan angka, pecahan, ukuran timbangan dan takaran tak mereka kuasai. Lebih menyedihkan lagi, tamatan universitas pun banyak yang demikian.
Pendidikan di negeri ini memang masih belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Petinggi-petinggi kita selalu berkata bahwa kalau negara nanti mempunyai dana yang cukup, perhatian terhadap pendidikan akan ditingkatkan.
Padahal, untuk membangun bangsa, mencerdaskan bangsa, dan melaksanakan pendidikan tidak ada istilah tak ada dana dan biaya.
Semua biaya seharusnya dipusatkan pada usaha mencerdaskan bangsa. Jika perlu sektor-sektor yang belum mendesak harus diabaikan demi mencerdaskan bangsa.
Bangsa yang abai
Kita sudah terlambat lebih dari setengah abad menangani pendidikan dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia. Hari ini kita masih di atas Kamboja, Laos, dan Myanmar di ASEAN. Juga masih di atas Timor Timur, yang kini menjadi sebuah negara. Kalau kurang hati-hati mendidik bangsa ini, paling lama 10 tahun lagi keempat negara tersebut juga akan meninggalkan kita.
Sebagaimana judul tulisan ini, apa yang salah dengan negeri ini? Jawabnya sederhana: Kita telah lama menelantarkan pendidikan anak bangsa ini. Oleh karena itu, marilah kita mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan kualitas bangsa ini melalui beberapa cara.
Pertama, menjadikan pembangunan pendidikan prioritas teratas dengan perencanaan dan program yang baik melalui jenjang-jenjang sekolah yang menciptakan tenaga kerja siap pakai, dengan kurikulum yang membumi dan didukung guru-guru yang berkualitas dan bertanggung jawab.
Kedua, menciptakan sekolah-sekolah sebagai tempat menimba ilmu dan menghindarkan pelecehan terhadap pendidikan, seperti jual beli ijazah dan gelar, lalu memberikan hukuman setimpal terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Ketiga, mempersiapkan kurikulum yang baik. Isinya memungkinkan peserta didik menjadikan anak bangsa yang berilmu pengetahuan, mampu berkomunikasi dengan dunia luar, bisa menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri dan sekitarnya, serta mau bekerja keras.
Keempat, dalam mengangkat guru-guru baru yang tidak mempunyai latar belakang keguruan, harus sangat hati-hati. Sebaiknya guru-guru yang tidak punya latar belakang keguruan dididik dulu selama sekurang-kurangnya satu tahun. Profesi guru pun harus dijadikan profesi terhormat. Karena tugasnya sebagai pendidik anak bangsa dan pencipta masa depan bangsa, berilah profesi ini gaji yang cukup agar dapat bekerja dengan tenang. Juga harus dibuka kembali sekolah-sekolah guru yang bermutu.
Semua kegiatan tersebut haruslah didukung oleh dana yang cukup dan berkesinambungan. Dengan begitu, dalam tempo selambat-lambatnya 10 tahun, diharapkan bangsa ini dapat mengejar ketertinggalannya.
Djauzak Ahmad Pensiunan Guru dan Mantan Direktur Pendidikan Dasar Depdikbud
0 Comments:
Post a Comment
<< Home