Parman

Guru Fisika SMA Negeri 12 Bandung Jl Sekejati IV No. 36 Kiaracondong Bandung 40286 Email : Suparman_fisika@yahoo.co.id

Friday, October 21, 2005

Menuntut Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan


Anita Lie (Kompas, 22-10-2005)
PASAL 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Janji pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003, ditandatangani Presiden 8 Juli 2003.
DALAM Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) antara lain disebutkan: Pertama, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" (Pasal 5 Ayat (1)). Kedua, "setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar" (Pasal 6 Ayat (1)). Ketiga, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi" (Pasal 11 Ayat (1)). Keempat, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun" (Pasal 11 Ayat (2)).
Janji pemerintah ini sudah sesuai dengan Konvensi Internasional Bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika, 2000. Konvensi menyebutkan, semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya. Selanjutnya, dalam masa kampanye legislatif dan calon presiden (capres), pendidikan menjadi komoditas yang ditonjolkan. Semua capres menjanjikan pembenahan sektor pendidikan. Yang belum jelas, komitmen menyentuh akar permasalahan dalam bidang pendidikan dan skenario mengatasi berbagai permasalahan itu.
Permasalahan
Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) dan (2), UU SPN No 20/2003, dan kesepakatan dalam Konvensi Internasional Bidang Pendidikan di Dakkar tahun 2000, masyarakat bisa mempunyai persepsi, pendidikan dasar akan gratis (baca, misalnya, Kompas, 31/8/2003).
Padahal kenyataannya, siswa masih dikenai berbagai pungutan, baik di sekolah swasta maupun sekolah negeri. Bahkan ditengarai, Komite Sekolah yang semestinya berfungsi sebagai lembaga pengontrol sekolah malah memberikan justifikasi bagi berbagai pungutan yang diadakan sekolah (Kompas, 2/8/2004). Pemberian subsidi biaya oleh pemerintah tidak serta-merta menggratiskan pendidikan bagi warga. Di Jawa Timur, misalnya, pemerintah provinsi dan kabupaten memberi subsidi sebesar Rp 15.000 untuk SD-MI (sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah) dan Rp 20.000 untuk SLTP-MTs (madrasah tsanawiyah). Ini berarti di sekolah-sekolah yang membiayai penyelenggaraan pendidikan lebih dari Rp 15.000 dan Rp. 20.000 per siswa, ada kemungkinan besar orangtua atau wali murid harus menanggung kekurangan biaya. Padahal, ada banyak sekolah (baik negeri maupun swasta) yang menganggarkan unit cost di atas Rp. 15.000 dan Rp. 20.000.
Program pemberian subsidi biaya minimal pendidikan dasar bisa menimbulkan dua macam kekecewaan. Pertama, sebagian masyarakat yang sudah terlanjur berharap pada pendidikan gratis untuk anak berusia 7 sampai dengan 15 tahun akan kecewa karena ternyata orangtua atau wali murid masih harus membayar iuran pendidikan. Sekali lagi, mereka akan beranggapan, yang dilaksanakan hanya penggantian istilah dan permainan kata-kata (SPP- Sumbangan Pembinaan Pendidikan-ditiadakan, juga iuran BP3-Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan-tidak diberlakukan. Namun, ternyata tetap masih ada biaya yang harus dikeluarkan).
Kedua, orangtua (terutama dari kalangan miskin) makin tercekik dengan berbagai biaya tambahan mulai dari seragam, buku pelajaran, darma wisata, dan sebagainya. Dalam lingkaran setan kemiskinan pendidikan siswa-lah yang menjadi korban pada tataran yang paling menderita. Dalam proyek pengadaan buku pelajaran, seragam, dan sebagainya, guru (dan juga kepala sekolah) mengambil keuntungan dengan dalih kesejahteraan guru yang amat memprihatinkan. Jika siswa tidak mampu membayar berbagai biaya tambahan itu, terancamlah kesinambungan pendidikannya.
Pembiayaan pendidikan yang tanggung-tanggung oleh pemerintah akan menimbulkan (atau makin mengukuhkan) kesenjangan di masyarakat.
Kesenjangan sekolah kaya-miskin
Minimnya tanggung jawab dan peran pemerintah dalam bidang pendidikan makin mengukuhkan segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Siswa-siswi dari keluarga miskin yang mendapat subsidi pemerintah tidak akan mampu menanggung kekurangan biaya sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin), di mana biaya operasional per anak tidak (jauh) melebihi unit cost yang sudah ditetapkan. Sementara itu, siswa-siswi dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapat iuran pendidikan memadai dari siswa, sekolah- sekolah ini akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. (catatan: Besarnya anggaran tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan di suatu sekolah. Namun, kekurangan anggaran hampir pasti amat menghambat peningkatan mutu pendidikan). Dalam jangka waktu panjang, disparitas sekolah miskin dan kaya serta anak miskin dan kaya akan makin lebar. Bahkan, di beberapa daerah banyak sekolah miskin harus ditutup karena sudah tidak mampu lagi membiayai penyelenggaraan pendidikan.
Efek kemiskinan dalam pendidikan juga memperlebar jurang antara kota dan desa (Pendidikan dan Kemiskinan Kita, Frietz Tambunan, Kompas, 20/7/2004). Kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, di negara sekaya Amerika Serikat pun disparitas ini muncul di permukaan sebagai fenomena neoliberalisme yang amat memprihatinkan (Jonathan Kozol, Savage Inequalities).
Kesenjangan kekuasaan-kewajiban negara
Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945, UU SPN No 20/2003, dan Konvensi Dakkar, pemerintah wajib menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara. Secara rinci, Pasal 49 UU SPN No 20/2003 menyatakan, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)".
Bahwa ternyata anggaran pendidikan-seperti disampaikan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan sidang DPR 15 Agustus 2003-ditetapkan sebesar kurang lebih Rp 15,2 triliun (berarti hanya 4,12% dari anggaran pendapatan negara sebesar Rp 343,9 triliun dan anggaran belanja negara yang sebesar Rp 368,8 triliun), telah terjadi pelanggaran awal oleh pemerintah terhadap UU SPN. Dalam konteks negara yang sedang mengalami krisis multidimensional, keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk dipahami dan diterima. Bahkan, pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan yang ada. Misalnya, swadaya masyarakat dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.
Seyogianya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika negara tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warganya dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus, mulai dari pelaksanaan UAN, penetapan penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UUB, EBTADA, dan sebagainya), sampai dengan sistem penerimaan siswa baru, menunjukkan kewajiban dan layanan publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, masyarakat harus memahami dan menerima keterbatasan itu. Namun, ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah, mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perizinan, dan sebagainya).
Ketidakseimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini mendapat sorotan dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika negara masih beriktikad baik untuk memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik.
Otonomi Daerah
Alokasi minimal 20 persen dari APBN dan APBD yang sudah ditetapkan dalam UU SPN No 20/2003, tetapi tidak dipenuhi di tingkat nasional kemungkinan besar akan sulit terjadi di daerah-daerah. Dalam era otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota mempunyai wewenang untuk menentukan anggaran pendidikan dalam APBD-nya. Kondisi dan kemampuan tiap daerah tentu berbeda. Ada daerah yang mungkin sudah mampu menggratiskan pendidikan dasar (Sesaat setelah terpilih pada 28 Agustus 2003, Wali Kota Malang Drs Peni Suparto meluncurkan pendidikan gratis dari SD sampai SMU, Kompas, 29/8/2003). Sementara daerah lain belum sanggup.
Variasi antardaerah yang amat tinggi akan mengarah kepada kesenjangan pendidikan dan pembangunan manusia di berbagai daerah. Kesenjangan ini selanjutnya akan berpengaruh pada kemajuan masing- masing daerah di kemudian hari. Untuk meminimalkan kesenjangan antardaerah, peran pemerintah pusat masih dibutuhkan. Perlu ada kesepakatan dan penetapan biaya maksimal yang harus dibebankan kepada siswa (terutama untuk sekolah-sekolah negeri).
Kepercayaan publik terhadap aparat
Pemberian subsidi untuk siswa dari keluarga miskin perlu disertai antisipasi terhadap teknis pelaksanaan distribusi dana. Sosialisasi, pendataan, dan distribusi subsidi pendidikan ini harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Berbagai kasus penyelewengan dalam program Jaring Pengaman Sosial dan yang lain, makin mengikis kepercayaan publik terhadap aparat negara (baik eksekutif maupun legislatif). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di berbagai tingkat perlu menyiapkan segala perangkat sosialisasi, pendataan, dan distribusi dengan lebih bertanggung jawab, jujur, dan transparan. Sementara itu, fungsi kontrol yang dilakukan masyarakat baik secara formal lewat Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah maupun lembaga masyarakat nonformal harus lebih digalakkan lagi. Sanksi tegas terhadap penyelewengan yang mungkin muncul harus disiapkan agar good governance tidak hanya menjadi slogan semata.
Pendidikan adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan menuju yang lebih baik. Janji para wakil rakyat yang sudah terpilih untuk dewan mendatang dan capres untuk mengedepankan pendidikan perlu diikuti komitmen dan kejujuran untuk berpikir dan bertindak di atas kepentingan sendiri dan golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di kemudian hari. Masyarakat tentu harus menggunakan hak mereka untuk terus mengontrol pemenuhan janji tersebut.
Anita Lie Pendidik, Tinggal di Surabaya

0 Comments:

Post a Comment

<< Home