Ilmu dan Harta
Oleh H. USEP ROMLI H.M.(Pikiran Rakyat, Jumat 21 Oktober 2005
MANA yang terpenting ilmu atau harta? Para ulama berbagai bidang keahlian, baik fiqih, maupun tasawuf, telah banyak mengemukakan pendapat mengenai mana yang terpenting dimiliki manusia. Ada yang menganggap kedua-duanya sama penting. Karena sama-sama memiliki nilai kegunaan bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Ada yang menempatkan ilmu lebih penting, karena dengan ilmu, harta akan mudah diperoleh. Ada juga yang memilih harta sebagai faktor utama, karena dengan modal harta ilmu juga akan didapat.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, memberi arahan mengenai fungsi dan peran ilmu dan harta. Menurut beliau, ada perbedaan signifikan antara keduanya. Ilmu jika digunakan terus-menerus, justru akan semakin terasah dan bertambah. Sedangkan harta akan habis. Harta memerlukan penjagaan, sedangkan ilmu memberikan penjagaan. Pemilik ilmu jarang kehilangan ilmunya, tapi pemilik harta cukup sering kehilangan hartanya.
Sedangkan Nabi Muhammad saw memberi tekanan kepada faktor manusianya. Hadis riwayat Imam Tirmdizi, menyebutkan, berdasarkan kepemilikan harta dan ilmunya, manusia di dunia ini terdiri dari empat macam.
Pertama, manusia yang mendapat anugerah harta dan ilmu dari Allah SWT. Harta dan ilmunya itu kedua-duanya bermanfaat pula. Harta dan ilmunya digunakan untuk membawa dirinya, keluarganya, dan sesama manusia ke arah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Itulah sebaik-baik derajat manusia (bi afdali manzil) yang dapat dikategorikan sebagai ahli surga (ahlul jannah), karena menjadi pelaku kebaikan dan kebajikan (ahlul khair, berkat harta dan ilmunya itu.
Kedua, manusia yang mendapat anugerah ilmu, tapi sedikit harta. Ini juga beruntung. Sebab dengan ilmunya yang banyak, orang itu dapat membawa dirinya ke arah kebenaran. Dapat membedakan mana halal mana haram. Dapat mengetahui nilai-nilai hak yang harus dibelam dan nilai-nilai batil yang harus dienyahkan. Berkat ilmunya itu, walaupun didukung harta sedikit, ia memiliki peluang besar untuk mencapai derajat kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
Ketiga, manusia yang mendapat harta melimpah, tapi ilmu sedikit. Ada dua kemungkinan di sini. Kemungkinan harta berlimpah itu dimanfaatkan di jalan yang diridai Allah SWT. Tanpa ilmu yang memadai, ia dapat mengelola hartanya bagi kebaikan dan kebajikan dirinya sekeluarga, bagi masyarakat keseluruhan. Tapi ada kemungkinan ia terjebak dalam ketidaktahuan. Hartanya dihambur-hamburkan untuk kemaksiatan, mengumbar hawa nafsu, dan merusak tatanan kehidupan. Termasuk untuk memenuhi ambisi semakin menambah jumlah harta itu dengan cara apa pun. Tak peduli aturan hukum, tak peduli halal-haram. Akibat ketidaktahuannya, segala perbuatan yang ia anggap menguntungkan, akan ditempuh. Bahkan suap sogok , dilakukan secara enteng dan terang-terangan, asal membuat hartanya bertambah banyak, asal dirinya tak tergoyahkan dari limpahan kekayaan. Padahal, perbuatan suap sogok sangat dilarang. La'natullahi alar ra'syi wal murtasyi. Artinya; Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap (Hadis sahih Imam Tirmidzi).
Pengaruh harta yang tak berkah, selalu merasa kurang dan selalu takut kekurangan. Maka berbagai upaya dicoba agar hartanya terus-menerus bertambah. Biar harus korupsi sekalipun. Ilmu untuk menuju kebenaran hidup dan mencapai rida Allah SWT memang ia tak punya. Tapi ilmu korupsi, mengeruk kekayaan bangsa dan negara demi kepentingan pribadi, punya bergudang-gudang. Ia punya kiat, biarlah korupsi, toh sebagian disisihkan untuk kepentingan orang banyak juga. Dipakai menyumbang lembaga pendidikan, menghajikan orang, memberdayakan kaum miskin, dan sebagainya. Ia menganggap dengan cara itu, dosa korupsinya akan terhapus. Apalagi ia sendiri tekun melaksanakan ibadah ritual. Tak pernah meninggalkan salat, rajin mengeluarkan zakat, infak, sedekah, getol puasa sunat dan wajib, pergi haji berkali-kali. Padahal segala kebaikan dan kebajikan yang disertai perbuatan haram, baik modal maupun penerapannya, tidak mengandung nilai sama sekali. Sabda Rasulullah saw, La yuqbalullahu shalatan bi ghairi thuhurin, wa la shadaqatun min ghululi. Allah tidak menerima salat tanpa wudu, dan bukanlah sedekah jika hartanya diperoleh dari hasil korupsi (Hadis sahih Muslim).
Tegasnya, sebesar apa pun sedekah (juga infak, zakat, jariyah wakaf) seseorang, tak diterima, tak bernilai apa-apa di sisi Allah, jika harta yang disedekahkan itu merupakan hasil korupsi. Persis seperti salat tanpa wudu. Ditolak karena badan masih kotor.
Keempat, manusia tak diberi ilmu juga tak diberi harta. Betul-betul hampa. Karena tak punya ilmu, tak sedikit pun terbersit keinginan untuk bertanya tentang norma kehidupan yang baik dan benar. Acuh tak acuh saja. Bahkan mengumbar hawa nafsu seenak perut. Tapi tuntutan kebutuhan akan harta, tumbuh secara naluriah. Sehingga, ia mengutamakan tuntutan naluriah tersebut tanpa bimbingan pengetahuan sedikit pun. Kemungkinan besar ia akan terjerumus ke dalam kesesatan. Termasuk kelompok orang sesat dan menyesatkan. Apalagi jika ketiadaan ilmu dan harta itu dimanfaatkan untuk hal-hal yang membahayakan tatanan kehidupan. Menjadi raja tega, pembunuh bayaran, dan lain sebagainya, akibat desakan naluriah memburu harta untuk kesenangan hidup. Sedangkan desakan naluriah untuk memperoleh ilmu yang akan membawanya ke jalan lurus, tak pernah muncul sama sekali. Sehingga ia terperangkap gaya hidup yang rusak sepanjang hayat.
Semoga kita termasuk ke dalam kelompok yang memiliki ilmu dan harta yang bermanfaat, memiliki kesehatan yang prima dan terbebas dari siksa api neraka. Allahuma inna nas'aluka ilman nafi'an, wa rizqan wasi'an wa sifa'an min kulli da'n wa saqamin wa ajirna minan nari
0 Comments:
Post a Comment
<< Home